Kamis, 5 Desember, 2024

Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan masih Abaikan Kesejahteraan Nelayan

MONITOR, Kendari – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan saat ini pembangunan sektor kelautan dan perikanan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi baik skala lokal maupun regional masih belum optimal, salah satunya karena pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir masih sering diabaikan.

“Potensi ekonomi kita di sektor kelautan dan perikanan jika dikelola dengan ilmu dan teknologi, bukan hanya dengan perasaan, sudah pasti akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi menuju negara yang adil, makmur, dan berdaulat,” ujarnya saat menjadi marasumber Focus Group Discussion “Strategi Pembangunan Perikanan Yang Produktif, Berdaya Saing, Inklusif dan Berkelanjutan Untuk Pengendalian Inflasi, Defisit Transaksi Berjalan, dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kawasan Indonesia Timur” yang dilaksanakan oleh perwakilan Bank Imdonesia (BI) Sulawesi Tenggara, di Hotel Plaza Inn, Kendari, Rabu (17/10).

Dalam FGD yang dihadiri oleh Perwakilan BI Wilayah Sulawesi dan Maluku, para Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindag, BKPMD, TPID dan pelaku usaha perikanan menyebutkan kondisi ironis di wilayah Indonesia timur dimana ikan yang menjadi potensi ekonomi justru menjadi pendorong inflasi. Atas kondisi tersebut, mantan menteri kelautan dan perikanan itu menyoroti permasalahan yang menjadi pendorong salah satunya soal minimnya perhatian pemerintah pada nelayan dan masyarakat pesisir.

- Advertisement -

“Kita masih belum serius mengurai benang kusut tata kelola perikanan kita baik perikanan tangkap maupun budidaya. Salah satunya kita seringkali abai untuk hadir dan memikirkan solusi untuk persoalan nasib nelayan dan masyarakat pesisir,” tegasnya.

Menurut Rokhmin setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang masih menjadi problem nelayan di Indonesia dalam meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Yaitu minimnya penyuluhan dan pendidikan, tidak ada jaminan harga jual hasil nelayan, sulitnya akses modal perbankan, dan kebijakan pemerintah yang justru mempersulit usaha perikanan.

“Nelayan tidak mempunyai jaminan harga dalam menjual hasil tangkapnya ke pengepul, padahal harganya tinggi ditingkat pengecer. Jalur distribusinya panjang. Mereka juga sulit keluar dari kondisi ini karena dihadapkan pada persoalan hutang bekal selama melaut dan hasil tangkapan yang harus segera dijual jika tidak ingin harganya makin jatuh. kita masih sulit lepas dari tengkulak dan hutang. Dalam satu tahun paling efektif melaut hanya 6 bulan, disini harusnya pemerintah hadir misalkan dengan serius mewujudkan koperasi,” tandasnya.

Pemerintah juga dinilai abai memberikan pendidikan dan penyuluhan bagi nelayan khususnya dalam menggunakan dan memanfaatkan alat dan teknologi perikanan terkini.

Sementara untuk pengembangan sektor perikanan budidaya termasuk industri kelautan lainnya seperti rumput laut nelayan dihadapkan pada masih tingginya bunga bank yang disalurkan. “Bunga kredit kita untuk sektor perikanan masih sangat tinggi. Bahkan paling tinggi diantara negara-negara ASEAN. Jika persoalannya bank mempertimbangkan resiko, harusnya pemerintah hadir disitu sebagai penjamin seperti melalui badan usaha milik pemerintah,” ungkapnya.

Terkahir, Rokhmin juga menyoroti soal kebijakan di sektor kelautan dan perikanan saat ini yang dinilainnya justru mempersulit usaha perikanan. “Ini dilarang, itu dilarang,” katanya.

“Kita setuju semua harus diatur dan dikendalikan. Tapi bukan dengan semua dilarang. Bagaimana orang mau menjalankan usaha. Contoh kita sepakat pemberantasan illegal fishing tapi harusnya dibuat zonasi bukan semua aktivitas penangkapan ikan dilarang. Karena secara alamiah ikan juga ada masa lestarinya, jika tidak diambil dia akan mati,” tandasnya.

Rokhmin berharap pemerintah kedepan lenih serius memperhatikan nasib nelayan dan masyarakat pesisir sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi di sektor kelautan dan perikanan melalui kebijakan-kebijakan yang lebih baik.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER