MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa’adi, mengimbau kepada para tokoh dan elit politik untuk membangun budaya politik dan demokrasi yang santun, dilandasi nilai luhur, akhlakul karimah dan berkeadaban.
“Berperilaku proporsional dan tidak berlebihan, baik dalam menyampaikan pendapat maupun kritik, sehingga tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan.
Kebebasan berekspresi, perbedaan pendapat dalam menyampaikan kritik adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi oleh konstitusi,” ujarnya, seperti rilis yang diterima monitor, Jumat 12 Oktober 2018.
Namun dalam pelaksanaannya, sambung Zainut, harus tetap mengindahkan nilai-nilai moral, etika dan agama sehingga sebesar apa pun perbedaan pendapat yang terjadi di ruang publik harus tetap dalam bingkai perbedaan yang sehat, konstruktif, dan argumentatif.
Menurutnya, kritik yang dibangun harus dengan narasi yang baik, jujur dan elegan. “Bukan dengan narasi yang sinis, sarkastik dan penuh kebencian,” kata Zainut. Sehingga, lanjutnya, tidak ada pihak yang merasa direndahkan dan dilecehkan.
Dia menilai, menuntut seorang pejabat negara agar dicopot dari jabatannya dengan alasan tidak jujur, korupsi dan tidak layak tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup, bukan saja akan menimbulkan kegaduhan, syak wasangka, dan suasana saling curiga.
Zainut menilai, hal tersebut juga merupakan bentuk pendidikan politik yang sangat buruk kepada masyarakat. Sebab, masyarakat akan meniru melakukan sesuatu seperti apa yang dilakukan oleh para tokoh.
“Yang menjadi kekhawatiran saya adalah jika Pak Amien Rais tidak bisa membuktikan tuduhannya seperti apa yang pernah dijanjikan, pasti akan ada tuntutan balik dari pihak Pak Tito Karnavian, karena Pak Amien Rais diduga telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan menyerang kehormatan,” ujar Watoni.
Jika hal itu terjadi, tambahnya, maka bisa dibayangkan betapa gaduhnya situasi dan kondisi kehidupan bangsa Indonesia. Di tengah pelaksanaan hajatan nasional tanah air, yaitu Pemilu baik Pileg maupun Pilpres yang seharusnya berjalan dengan damai, rukun dan penuh persaudaraan, bisa berubah menjadi panas, penuh dengan fitnah, hoaks dan ujaran kebencian.
Akibatnya, dikhawatirkan dapat menimbulkan friksi dan perpecahan bangsa yang semakin tajam. Untuk hal tersebut, MUI mengimbau kepada semua pihak agar dapat menahan diri, lebih mendahulukan kepentingan keselamatan bangsa dari pada hanya sekedar mengejar kepentingan politik kekuasaan.
“Semoga masyarakat Indonesia diselamatkan dari bahaya perpecahan dan menjadi bangsa yang semakin arif dan dewasa dalam menyikapi perbedaan,” ujar Watoni.