MONITOR, Xinjiang – Perlakuan diskriminatif kembali diterima warga muslim di negara China. Pemerintah Kota Urumqi menggelar kampanye anti-halal yang menyasar warga Muslim di Provinsi Xinjiang yang mayoritas merupakan etnis Uighur.
Sejumlah produk dilarang untuk dijual maupun digunakan di wilayah tersebut, mulai dari makanan hingga pasta gigi. Xinjiang merupakan rumah bagi kaum minoritas muslim Uighur yang menjalani gaya hidup halal sesuai hukum Islam. Pemerintah setempat menilai nilai-nilai Islam dapat mencederai kehidupan sekuler dan mendorong ekstremisme.
Dikutip dari South China Morning Post, sejumlah pejabat Partai Komunis bertemu di ibu kota provinsi, Urumqi, untuk menetapkan pelarangan beragam produk-produk halal di kawasan tersebut. Mereka bersumpah untuk “berperang dalam peperangan penting melawan pan-halalisasi”.
Ini diawali dengan pemberian label halal yang sesuai dengan hukum Islam terhadap beberapa produk selain makanan. Negara menganggap, meluasnya jenis produk yang diberi label tersebut berarti nilai-nilai Islam menekan sekularisme di Tiongkok.
“Kecenderungan pan-halal mengaburkan batas antara kehidupan agama dan sekuler. Jadi itu mudah untuk jatuh ke ekstremisme agama,” kata pejabat setempat kepada Global Times yang merupakan media milik pemerintah Tiongkok.
Salah satu langkah untuk melancarkan kampanye ini adalah melalui tulisan. Ilshat Osman, kepala jaksa Urumqi bahkan menulis esai berjudul “Kawanku, Kalian Tidak Perlu Mencari Restoran Halal, Terutama Untukku” untuk mendukung kampanye ini.
Global Times sebagaimana diberitakan Reuters Rabu (10/10/2018) menulis bahwa “tuntutan menghalalkan sejumlah aspek kehidupan yang tidak benar-benar bisa menjadi halal” memicu permusuhan kepada agama dan mengganggu nilai sekulerisme.
Menurut akun resmi WeChat Pemerintah Xinjiang, aparatur pemerintah tidak seharusnya memiliki pantangan makanan seperti anjuran makanan halal. Kantin-kantin di tempat kerja juga akan diubah sehingga setiap pejabat dapat menikmati hidangan apa saja.
Para pemimpin Partai Komunis Urumqi juga menekankan kepada anggota partai dan pejabat pemerintah untuk teguh memegang nilai-nilai Marxisme-Leninisme, bukan agama. Mereka juga mewajibkan penggunaan bahasa China standard dalam kehidupan sehari-hari.
Penduduk China secara teknis diberi kebebasan untuk menjalankan praktik agama. Namun, mereka kerap menjadi target pengawasan pemerintah.
Pada Maret lalu, pemerintah lokal di Provinsi Gansu sudah mulai memerangi keberadaan produk-produk halal. Sebanyak kurang lebih 700 toko milik para warga yang menjual produk-produk tersebut dipaksa untuk mengakhiri operasional mereka. Bahkan, layanan halal seperti pangkas rambut dan pemandian juga dilarang untuk beroperasi.
Menurut Yang Yuanzhong, wakil ketua dewan pimpinan daerah dari Partai Komunis, keputusan untuk melarang produk dan layanan berlabel halal diperlukan agar persatuan etnis dan stabilitas sosial di wilayah tersebut tetap terjaga. Berdasarkan data pemerintah, 59 persen dari 2,18 juta warga di wilayah itu merupakan penganut agama Islam.
Dalam laporan yang dirilis Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB baru-baru ini tentang Tiongkok, ada tuduhan bahwa pemerintah Komunis telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Uighur di Provinsi Xinjiang. Berdasarkan temuan komite itu, diperkirakan ada “puluhan ribu hingga satu juta warga Uighur” yang ditawan di sana.
Situasi di Xinjiang sebenarnya memang kompleks. Namun, tak sedikit yang meyakini bahwa perlakuan pemerintah di Beijing terhadap warga Uighur, serta kelompok minoritas lainnya dilatarbelakangi oleh faktor etnis.
Menurut sejumlah aktivis, kegiatan kebudayaan dan keagamaan di Xinjiang selalu mendapat batasan sangat ketat. Salah satu yang pernah menjadi perhatian internasional adalah larangan memberikan nama bernuansa Islam kepada anak. Tapi di sisi lain, profil presiden Tiongkok, Xi Jinping, terus ditampilkan sebagai sosok penyelamat yang tak tergantikan.
Pemerintah China Agustus lalu menerbitkan aturan revisi yang mengatur perilaku penduduknya. Melalui aturan tersebut barang siapa yang kedapatan menjadikan nilai agama sebagai landasan hidup akan diganjar hukuman atau pengusiran.