MONITOR – Presiden Joko Widodo kembali jadi bahan bully-an masyarakat, usai menghadiri kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran Nasioanl (MTQN) XXVII, di Medan, Sumatera Utara, Minggu (7/10) lalu. Jokowi dihujat lantaran mengucapkan istilah Al-fatihah dengan Al-fatekah, khas dialek Jawanya.
Saat berpidato, orang nomor wahid negeri ini mengajak elemen masyarakat untuk turut mendoakan korban bencana gempa di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah. Jokowi menjelaskan, akibat bencana alam gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan 1.600 lebih nyawa melayang. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat tepatnya di Lombok sudah 500 orang yang meninggal akibat gempa.
“Saya mengajak bersama-sama, marilah kita mengirimkan Al Fatihah untuk korban bencana alam dan para keluarga yang selamat agar diberi kesabaran dan ketabahan,” ujar Jokowi Jokowi di Pelataran Astaka, Jalan Wiliem Iskandar, Medan, Sumatera Utara.
“Alaa hazihi niyat Al-fatekah,” ucapnya memimpin doa.
Tak pelak, ajakan Jokowi itu mengundang tawa dari pada hadirin yang ikut menyaksikan pidato Jokowi. Dalam sebuah video, tampak jelas beberapa santri tertawa kencang lalu membenarkan istilah yang diucapkan Jokowi dengan ‘Al-fatihah’. Video ini pun sudah menyebar luas di beberapa lini media sosial. Oleh pendukung Prabowo-Sandi, viralnya video Jokowi dijadikan untuk alat menyerang. Pemahaman agama Jokowi pun kembali dikupas.
Namun oleh pendukungnya, Hal yang diucapkan Jokowi merupakan sebuah kewajaran lantaran tersangkut logat sebuah daerah. Politikus PDIP Yayan Sopyan misalnya, menilai persoalan istilah ‘Al-Fatekah’ bukanlah mengenai benar atau salah.
“Ketika ada yang bilang Al-Fatekah, tiba tiba ada yang tertawa. Tertawanya kemana mana hingga ke Medsos. Padahal di sebagian Jawa Tengah, mengucapkan Al Fatihah memang menjadi al Fatekhah. Sekali lagi, dalam konteks tersebut, ini bukan masalah benar atau salah,” ujar Yayan, Selasa (9/10).
Yayan menilai, fenomena tersebut sangat wajar terjadi karena bersinggungan dengan logat dialek masyarakat tertentu. Maka baginya, hal itu tidak layak untuk ditertawakan.
“Pertama ini masalah lisan, lidah dan cara pengucapan tertentu dari wilayah tertentu. Kedua, bagi mereka yang kurang piknik, perbedaan lisan dalam konteks ini, memang jadi bahan tertawaan. Padahal mereka yang tertawa juga layak ditertawakan sebab wawasan soal pelafadzan di ragam daerah sangat minim,” terangnya.