MONITOR, Jakarta – Mahalnya biaya perawatan buoy, alat pendeteksi tsunami, menjadi salah satu pemicu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan alat pendeteksi tsunami yaitu cable based tsunamimeter (CBT).
CBT ini telah dikembangkan di beberapa negara seperti Kanada, Jepang, Oman, dan Amerika Serikat. Dalam forum komunikasi antar perekayasa CBT di seluruh dunia, disepakati CBT menjadi pilihan sebagai alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi oleh buoy, yakni vandalisme dan mahalnya buoy.
“CBT memang lebih mahal tapi operasionalnya lebih murah, sehingga diharapkan biaya perawatannya juga rendah. US$ 500 ribu itu merupakan angka pada saat buoy dihibahkan Jerman pada saat peluncuran program buoy 2008,” ujar Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT Hammam Riza, di kantor BPPT, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis 4 September 2018.
Biaya awal Buoy hingga beroperasi memang lebih murah dibandingkan dengan CBT yang lebih mahal pada sensornya. Namun, biaya operasionalnya sangat mahal. “Teknologi peringatan dini atau early warning system mutlak diperlukan untuk langkah mitigasi awal, serta menghindarkan potensi korban nyawa yang besar,” kata Hammam.
Draft resolusi pemanfaatan CBT juga telah diajukan dalam pertemuan Sidang Executive Council (EC) World Meteorological Organization (WMO) EC-70 pada Juli lalu di Jenewa. Dan Dewan Eksekutif Komisi Kelautan Antar Pemerintah (IOC) ke 51, Juli lalu di Paris dan telah disetujui menjadi afirmasi internasional.
Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT M. Ilyas menjelaskan bahwa biaya perawatan buoy sangatlah mahal. “Buoy itu belinya Rp 5 miliar, tapi untuk biaya perawatannya itu sehari Rp 150 juta. Jadi kalau misalkan buoy di Papua perlu perawatan 30 hari yaa kalikan saja berapa, dan setiap tahun harus ada,” ujar Ilyas.
Menurut Ilyas, buoy itu harus dipelihara. Buoy, kata dia, perlu di-maintenance dari baterainya, baik yang ada di dasar laut dan ada pula di permukaan. Yang harus dilakukan saat ini, agar biaya lebih murah adalah memasang sensor CBT itu di dalam kabel palapa ring atau telkom yang ada di dalam laut.
Itu kemudian bisa menjadi satu kesatuan, tapi jangan dilupakan juga bahwa buoy itu masih dibutuhkan karena tidak semua area bisa dipasang kabel dan harus memasang buoy. “Bahwa selanjutnya buoy itu nanti akan di curi atau dirusak, ya itu resiko,” tambah Ilyas. “Ini harus dilakukan di Indonesia, karena sistem peringatan tsunami itu sangat diperlukan, ini membutuhkan anggaran yang cukup besar.”
Hammam juga menambahkan bahwa sistem peringatan dini tsunami berbasis kabel laut akan lebih efisien dalam konteks biaya operasionalnya. BPPT, kata Hammam, mampu untuk membuat produk inovasi dalam rangka mitigasi bencana. “Saya ingatkan, kita tidak bisa menghentikan bencana. Namun dengan pengetahuan dan teknologi, kita bisa membuat alat deteksi tsunami untuk mengurangi korban,” lanjut Hammam.