Oleh: Fahmy Radhi
Penandatangan Sales and Purchase Agreement (SPA) antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dengan Freeport McMoran, selaku induk usaha PT Freeport Indonesia (PTFI), pada 27 September 2018 menandakan secara resmi dan syah pengambilalihan (divestasi) 51% saham Freeport. Penandatanganan SPA ini merupakan lanjutan dari penandatangan Head of Agreement (HoA) antara PT Inalum, Rio Tinto dan Freeport-McMoRan Inc (FCX) yang dilakukan pada 12 Agustus 2018 lalu.
Sejak awal Pemerintahannya, Presiden Joko Widodo memang sudah bertekat untuk pengambil alih Freeport dengan menguasai 51% saham Freeport melalui proses perundingan, yang berdasarkan prinsip-prinsip perundingan internasional. Tim Perunding Pemerintah, diwakili Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Menteri Keuangan, menawarkan kepada Freeport untuk mengubah KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Awalnya Freeport menolak keras IUPK, bahkan Freeport sempat mengancam untuk mengadukan Indonesia ke Arbitasi International, menghentikan produksi, dan PHK besar-besaran, jika Pemerintah Indonesia memaksakan pemberlakuan IUPK. Namun, di luar dugaan setelah pertemuan antara CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan di Jakarta pada 27 Agustus 2017, Freeport menyetujui kesepakatan kerangka dasar (framework agreement).
Hasil kesepakatan framework agreement itu diumumkan ke publik pada 29 Agustus 2018. Kerangka dasar yang disepakati adalah perubahan KK menjadi IUPK, dengan persyaratan: smelterisasi, divestasi 51% saham Freeport, dan penerimaan negara yang lebih tinggi dari pajak dan royali. Dalam kesepakatan kerangka dasar itu, Pemerintah menyetujui perpanjangan operasi Freeport 2×10 tahun dan memberikan jaminan kepastian investasi.
Meskipun sudah menyetujui kesepakatan kerangka dasar, Freeport menolak usulan pemerintah terkait penetapan harga saham divestasi, yang dihitung berdasarkan nilai asset dan cadangan hingga tahun 2021. Freeport tetap bertahan pada penetapan harga divestasi saham yang mencerminkan nilai pasar wajar adalah dengan memperhitungkan nilai asset dan cadangan hingga tahun 2041. Tidak bisa dihindari terjadi lagi dead lock dalam perundingan.
Di tengah ancaman alotnya dead lock dalam perundingan penetapan harga saham Freeport, Tim Perunding Pemerintah memutuskan untuk membeli participating interest (PI) Rio Tinto, yang ada pada PTFI sebanyak 40%. Freeport pun juga menyetujui keputusan Indonesia untuk membeli PI sebagai bagian dalam proses divestasi 51% saham Freeport. Akhirnya, PT Inalum, Freeport Mc MoRan dan Rio Tinto sepakat untuk menandatangani HOA.
Dalam HOA itu, Inalum setuju mengeluarkan dana sebesar US$ 3,85 miliar untuk membeli 40% PI Rio Tinto di PTFI dan 100% saham Freeport di PT Indocopper Investama 9,36% saham di PTFI. Kepemilikan Inalum setelah penjualan saham dan PI Rio Tinto tersebut menjadi sebesar 51,2%., yang 10% PI akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Papua.
Divestasi 51% saham Freeport merupakan keputusan yang paling realistis dibanding dengan pengambilalihan 100% pada 2021, saat Kontrak Karya berakhir. Pasalnya, berdasarkan perjanjian KK, Pemerintah tidak bisa mengambil tambang Freeport begitu saja tanpa alasan yang wajar. Kalau pun, Pemerintah dan Freeport Mc Moran sepakat untuk menghentikan KK, Pemerintah harus membayar semua peralatan yang digunakan sesuai dengan nilai buku. Berdasarkan perhitungan, nilai buku seluruh peralatan diperkirakan sekitar US$ 6 miliar, jauh lebih mahal ketimbang harga pembelian 51,2% hanya sebesar US$ 3,85 miliar.
Penguasaan 51% saham Freeport akan memberikan beberapa manfaat ekonomi, diantaranya: peningkatan pendapatan dari deviden, pendapatan pajak dan royalty, yang akan ditentukan dari besaran pendapatan tahun berjalan PTFI. Berdasarkan laporan keuangan tahun 2017 yang telah diaudit, PTFI membukukan Earning After Tax (EAT), pendapatan setelah dikurangi pajak, sebesar US$ 4,44 miliar. Dengan EAT sebesar itu, jangka waktu pengembalian (Pay Back Period) pengeluaran divestasi sahamUS$ 3,85 miliar diperkirakan akan terpenuhi selama 3 tahun.
Penguasaan mayoritas 51% saham Freeport itu, tidak hanya menandai awal pengembalian Freeport ke Pangkuan Ibu Pertiwi, tetapi juga mengembalikan kedaulatan energi kepada Negara Republik Indonesia dalam pengelolaan tambang di Bumi Papua. Selain itu, penguasaan 51% saham Freeport juga akan memberikan manfaat ekonomi dan finansial yang dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanah konstitusi UUD 1945, utamanya rakyat Papua.
*Penulis merupakan Pengamat Ekonomi Energi UGM