Wardatul Hasanah Penikmat Buku & Alumnus Pondok Pesantren Darul Ulum Pamekasan-Jawa Timur
Pancasila selalu menarik untuk didiskusikan bersama. Sebab, meskipun telah final sebagai dasar negara, eksistensi Pancasila masih sering dipersoalkan oleh sebagian kelompok yang dengan terang-terangan menyatakan bahwa Pancasila bertentangan dengan agama. Bahkan, ada kelompok yang mengampanyekan mengganti Pancasila dengan sistem syariat (baca: khilafah).
Berbicara Pancasila sebagai dasar negara, maka sangat tepat jika kita membaca buku karya Bapak Syaiful Arif berjudul: Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi, agar pemahaman kita tentang Pancasila lebih mendalam dan komprehensif. Penulis dan tokoh muda ini sangat fokus pada tema Pancasila dan Keindonesiaan sehingga sangat tepat pula dia dipilih sebagai Tenaga Ahli Deputi Pengkajian dan Materi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Di bagian awal bukunya, ia menjelaskan kedudukan Pancasila sebagai sebuah ideologi di mana kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Dengan demikian, segala bentuk sikap dan perilaku masyarakat ataupun kelompok yang bertentangan dengan ideologi Pancasila perlu dilawan demi menjaga persatuan dan kesatuan bansga.
Sejak menguatnya penolakan terhadap nilai-nilai kebangsaan atas dasar paham keagamaan, bangsa ini membutuhkan kesatuan pandangan antara agama dan negara. Ini berarti, segenap upaya penguatan wawasan kebangsaan tidak bisa lepas dari dalih agama. Menjelaskan Pancasila pun, harus melalui bahasa agama (halaman: 31).
Salah satu kelompok yang dengan lantang menentang ideologi Pancasila di negeri ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini mendeklarasikan menolak sistem demokrasi dan ingin menggantinya dengan sistem hukum Tuhan. Perjuangan Hizbut Tahrir Indonesia yang ingin mengganti Pancasila berkembang pesat, bahkan banyak mahasiswa dan dosen, baik swasta maupun negeri yang terjerat ideologi HTI ini.
Dengan segala upayanya untuk mengganti Pancasila melalui berbagai demonstrasi atau seminar, maka masyarakat tidak kaget jika HTI menjadi organisasi terlarang di republik ini dan juga di beberapa negara lainnya. Jadi, kita perlu waspada dan menolak dengan keras segala bentuk tindakan HTI yang ingin mendirikan sistem politik baru yang bertentangan dengan NKRI.
Sebenarnya, hubungan antara Islam dan negara tidak perlu diperdebatkan lagi karena keduanya sudah disatukan oleh Pancasila sebagai dasar negera. Pancasila telah mengakomodir dua kutub ideologi—yaitu nasionalisme sekular dan nasionalisme Islam.
Dari sini Pancasila kemudian membentuk sebuah negara “jalan tengah”: bukan negara agama dan bukan negara sekular. Ini tentu melampaui hubungan integratif agama dan negara yang membentuk negara agama, juga pola separatif yang memisahkan agama dari negara. melampaui itu, ia telah membentuk suatu “teo-demokrasi”, dalam arti, kedaulatan Tuhan dibaca dalam satu tarikan napas dengan kedaulatan rakyat (halaman: 235).
Menurut Syaiful Arif, penulis buku ini, untuk memahami hubungan Islam dan negara, perlu kiranya mengetahui keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila justru menjadi titik temu berbagai ideologi di dunia yang akhirnya melahirkan rumusan ideologi khas bangsa Indonesia sehingga menjadikan corak Islam di Indonesia bersifat moderat dan nasionalis.