MONITOR, Jakarta – Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, yang menyatakan bahwa mantan narapidana korupsi berhak untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.
Putusan ini pun menuai kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui Waketum Zainut Tauhid Sa’adi, MUI menilai dibatalkannya PKPU tersebut otomatis partai politik dapat kembali mencalonkan mantan terpidana korupsi tersebut.
“Hal ini menunjukkan bahwa korupsi belum dianggap sebagai musuh bersama dan menjadi sinyalemen krisis yang bisa berakibat fatal bagi kehidupan bangsa Indonesia,” ujar Zainut kepada MONITOR, Rabu (19/9).
“Menurut hemat kami, upaya memerangi korupsi seharusnya dimulai dengan lahirnya “rasa krisis” yaitu kesadaran bahwa jika korupsi tidak diberantas maka keberlangsungan negara menjadi ancaman serius,” tambahnya lagi.
Politikus PPP ini menyarankan, pemerintah seharusnya serius dalam menanggulangi kasus korupsi, tidak boleh setengah-setengah. Baik dalam bentuk kebijakan maupun sikap dan tindakan.
Dalam kebijakan misalnya, kata Zainut, seharusnya hukuman untuk para koruptor itu harus dapat menciptakan efek jera, baik dari segi lama hukuman, ganti rugi finansial maupun tambahan hukuman lainnya.
“Untuk hal tersebut MUI mengimbau kepada masyarakat untuk cermat dalam memilih pemimpin khususnya calon anggota legislatif, agar tidak memilih caleg yang memiliki sejarah kasus korupsi. Hal ini semata untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran dan bencana,” tegasnya.