Oleh: Nurhayati Kasman
Diskursus terkait keterlibatan perempuan dalam politik tampak tak ada habisnya. Diskursus ini akan terus berlangsung sampai kapanpun, sepanjang hak-hak perempuan dalam keikutsertaan mereka di bidang politik berjalan tersendat-sendat, apalagi sebatas jalan di tempat.
Jangankan keterlibatan dalam politik praktis, keikutsertaan dalam menyelenggarakan kegiatan pemilu saja masih belum jelas wujudnya. Tulisan ini mau menelaah sejauhmana kiprah perempuan dalam penyelenggaraan pemilu. Bagaimana peran serta mereka dalam menyelenggarakan sebuah hajatan yang akan menghasilkan figur-figur pengambil kebijakan yang berdampak bagi kepentingan banyak orang.
Selama hampir dua dekade ini, tepatnya setelah era reformasi bergulir, keikutsertaan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu hampir tidak terasa. Kalaupun dikatakan dapat dirasakan, maka itu hanya terjadi di pusat. Wilayah-wilayah atau daerah-daerah, apalagi seperti di Lembata ini, peran perempuan dalam keikusertaan menyelenggarakan pemilu, jelas tidak terasa sama sekali.
Perempuan, sebagaimana dalam masyarakat yang patriarkis, keikutsertaan perempuan dalam kegiatan ‘panas’ seperti ini masih dipandang sebelah mata. Jangankan itu, ikut serta dalam penyelenggaraan pemilu pun seolah dianggap belum layak. Padahal, kaum pria yang terjun ke arena yang sama belum tentu lebih baik kualitasnya.
Penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU (sebagaimana diamanatkan Undang-Undang), selalu saja didominasi kaum pria. Hampir tidak terdengar kaum perempuan menjadi komisioner KPU di kabupaten/kota. Apakah menjadi komisioner KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota itu semata-mata hak kaum pria?
Bagaimanapun juga, kaum perempuan yang di republik ini jumlahnya lebih banyak dari kaum pria, perlu diperhatikan juga keikutsertaannya dalam menyelenggarakan hajatan politik yakni sebagai Komisioner KPU.
Ketika seorang perempuan ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan pemilu, maka ia akan lebih paham bagaimana mendorong kaumnya agar bisa mengambil peran secara maksimal dalam pemilu. Ia akan menjadi tempat bertanya bagi kaumnya mengenai hak-hak kaumnya dalam sebuah hajatan politik yang namanya pemilu ini, baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Dengan menjadi komisioner KPU, ia akan lebih leluasa memberikan edukasi politik kepada kaumnya karena ia lebih bisa diterima.
Melihat beberapa keunggulan perempuan sebagaimana disebutkan di atas, semestinya sudah tidak ada alasan lagi mengamini begitu saja betapa minimnya peran anak cucu Hawa ini dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya sebagai komisioner KPU. Akan tetapi, mengapa minimnya peran serta kaum perempuan dalam penyelenggaraan pemilu ini dianggap sebagai sebuah hal yang lumrah adanya sehingga seolah-olah tidak ada hal yang serius yang harus disikapi terkait pembangunan sumber daya manusia perempuan di bidang politik?
Di sini jelas terlihat bahwa pihak pemerintah, DPR/DPRD, KPU, partai politik dan pemangku kepentingan lainnya, tidak berselera sedikitpun dalam menyikapi ketimpangan yang berlaku. Ada kesan bahwa pekerjaan penyelenggara pemilu hanya layak dilakoni kaum pria saja, sedangkan kaum perempuan tinggal menunggu saja; apapun keputusannya tinggal dituruti saja.
Mereka seolah-olah menutup mata akan ketimpangan ini dan menganggap tidak layak untuk didiskusikan di ruang publik. Jika begini kenyataannya maka harapan akan keterlibatan perempuan dalam segala aspek pembangunan sesungguhnya cuma hiasan bibir semata.
Pemerintah dan DPR sebagai pembuat Undang-Undang hanya sepakat mengenai 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif dalam pemilu sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 245 dan Pasal 246 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sementara, KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak ada ketentuan demikian. Artinya, ketentuan 30% kuota perempuan hanya berlaku untuk parpol peserta pemilu dan tidak berlaku untuk penyelenggara pemilu seperti KPU.
Ke depannya perlu dipikirkan bagaimana agar keterlibatan kaum perempuan tidak hanya dalam urusan sebagai calon legislatif tetapi juga sebagai penyelenggara pemilu, dalam hal ini sebagai komisioner KPU teristimewa di kabupaten/kota. Karena dalam hajatan politik kita tidak hanya berpikir bagaimana peran perempuan di hilir saja, akan tetapi semestinya juga di hulunya.
*Penulis merupakan Aktivis Peduli Perempuan, yang aktif di LSM Peduli Perempuan Lembata