MONITOR, Jakarta – Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mengklaim pemerintah bertekad memacu sektor industri manufaktur agar terus meningkatkan nilai tambah tinggi, terutama melalui penerapan revolusi industri 4.0.
Menurut Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu, hal tersebut sejalan upaya untuk mentrasformasi ekonomi menuju negara yang berbasis industri.
“Aktivitas industri konsisten memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi nasional, antara lain penerimaan devisa dari eskpor, pajak, dan cukai serta penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto seusai menjadi Inspektur Upacara pada Peringatan HUT ke-73 Republik Indonesia di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (17/8).
Menperin menjelaskan, industri pengolahan menjadi kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dengan nilai mencapai 19,83 persen pada triwulan II tahun 2018. Sementara untuk pertumbuhan industri pengolahan nonmigas, berada di angka 4,41 persen, lebih tinggi dibandingkan capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar 3,93 persen.
Adapun sektor-sektor yang menjadi penopang pertumbuhan industri pengolahan nonmigas di kuartal dua tahun ini, antara lain adalah industri karet, barang dari karet dan plastik yang tumbuh sebesar 11,85 persen, kemudian diikuti industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki sebesar 11,38 persen.
Selanjutnya, pertumbuhan industri makanan dan minuman tembus 8,67 persen, serta industri tekstil dan pakaian jadi mencapai 6,39 persen. Kinerja dari sektor-sektor manufaktur tersebut mampu melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
“Tentu sekarang kita harus melihat ke depan, bahwa sektor manufaktur menjadi salah satu ujung tombak perekonomian Indonesia karena kontribusinya mencapai 18-20 persen. Jadi, kami tetap fokus untuk memperkuat sektor riil di dalam negeri,” paparnya.
Sementara itu, dilihat dari neraca perdagangan, sektor industri berbasis sumber daya alam masih menunjukkan kinerja positif. Pada Mei 2018, sektor manufaktur yang mengalami surplus adalah industri kayu, barang dari kayu dan gabus sebesar USD387,32 juta, industri kertas dan barang dari kertas USD310,71 juta, serta industri furnitur USD101,90 juta. Selain itu, sub sektor lainnnya, industri pakaian jadi juga menunjukkan surplus perdagangan senilai USD696,29 juta.
Selanjutnya, sepanjang tahun 2017, industri menjadi penyumbang tertinggi hingga 74,10 persen dalam struktur ekspor Indonesia dengan nilai mencapai USD125,02 miliar. “Rasio ekspor kita pada periode 2015-2017, produk hilir mendominasi sebesar 78 persen, sisanya produk hulu. Ini berkat peran dari sektor manufaktur,” ungkap Airlangga.
Bahkan, nilai ekspor sektor industri terus mengalami peningkatan, dari USD110,50 miliar pada tahun 2016 dan diperkirakan menjadi USD143,22 miliar di tahun 2019. Pada periode Januari-Juni 2018, total ekspor nasional mencapai USD63,01 miliar, naik 5,35 persen dibanding periode yang sama di tahun 2017 sebesar USD59,81 miliar. Peningkatan itu pun didorong kontribusi yang mayoritasnya dari ekspor industri manufaktur hingga 71,59 persen.
“Dengan menerapkan industri 4.0, aspirasi besar nasional yang akan dicapai adalah membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi di tahun 2030 dan mengembalikan angka net export industri 10 persen dari total PDB,” tutur Airlangga.
Kontribusi besar lainnya dari setor manufaktur, yakni penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) industri pengolahan hingga Juli 2018 mencapai 29,9 persen atau senilai Rp194,36triliun, yang mampu melampaui sektor perdagangan, jasa keuangan, dan pertambangan. Bahkan, penerimaan PPN industri pengolahan tersebut meningkat 12,48 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017.
“Tiga sektor industri dengan pertumbuhan PPN terbesar, yaitu industri tekstil sebesar 223,46 persen, industri pakaian jadi sebesar 80,41 persen, dan industri makanan sebesar 25,81 persen,” sebutnya. Lebih lanjut, kontribusi signifikan sektor manufakur juga terlihat dari penerimaan cukai nasional, yang 90 persennya dari industri hasil tembakau (IHT) atau senilai Rp149,9 triliun.
“Penerimaan cukai rokok tersebut setara dengan 10 persen dari target pendapatan pajak tahun 2017 sebesar Rp1.498 triliun. Penerimaan cukai rokok itu mengalami kenaikan 6 persen dari APBNP 2016,” ungkap Menperin.
Sementara dari jumlah penyerapan tenaga kerja, industri juga beperan penting seiring dengan naiknya pertumbuhan. Pada tahun 2010, terdapat 13,82 juta tenaga kerja di sektor industri, naik menjadi 17,5 juta tenaga kerja di tahun 2017.
Maka itu, di mata internasional, Indonesia dipandang sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia. Menurut United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Indonesia menempati posisi ke-9 dunia sebagai negara penghasil nilai tambah terbesar dari sektor industri.
Selain itu, apabila dilihat dari persentase kontribusi industri, Indonesia masuk dalam peringkat 4 besar dunia. Indonesia juga mengalami peningkatan pada Global Competitiveness Index, yang saat ini mengalami kenaikan di posisi ke-36 dari sebelumnya peringkat ke-41.
Menperin memandang, Hari Kemerdekaan ini menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk bersama-sama lebih kerja keras membangun dan memajukan negara. Salah satunya peran dari pelaku industri nasional. “Sesuai tema tahun ini adalah Kerja Kita, Prestasi Bangsa,” tegasnya.
Airlangga menyebutkan, pengembangan Alat Mekanis Multiguna Pedesaan (AMMDes) menjadi wujud karya anak bangsa sekaligus kemandirian industri nasional. “Ini kendaraan yang tengah dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya di pedesaan. Selain sebagai alat angkut, fungsinya juga mendukung produktivitas pertanian dan perkebunan,” jelasnya.
Kendaraan pedesaan tersebut telah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada pembukaan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2018 di ICE BSD City, Tangerang, Banten, awal Agustus lalu. “AMMDes ini akan diproduksi massal pada tahun depan,” imbuhnya.
Terdapat 70 industri dalam negeri yang menjadi pemasok komponen mobil “Pak Tani” tersebut, di mana sebagian besar dari mereka adalah industri kecil dan menengah (IKM). Saat ini, IKM yang terlibat telah mampu memproduksi 184 jenis komponen atau setara 70 persen dari nilai harga AMMDes yang berkisar Rp65-70 juta.