NASIONAL

OSO Sebut MK Goblok, Pengamat: Sangat Tak Beretika

MONITOR, Jakarta – Pernyataan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) yang menyebut Mahkamah Konstitusi ‘goblok’ menuai respon negatif dari banyak kalangan.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenggala Center, Syamsuddin Radjab, mengatakan, sebagai seorang tokoh dan penyelenggara negara tidak etis melontarkan perkataan seperti itu.

“OSO sebagai penyelenggara tidak etis. Sebagai pejabat negara mustinya punya standar etika yang lebih tinggi dari kita-kita ini. Kalau ngomong di depan publik goblok-goblokin lembaga negara itu menyalahi etika sebagai penyelenggara negara dan itu diatur dalam TAP MPR berkaitan dengan etika penyelenggara negara, harus santun, sopan dan seterusnya, menyampaikan pendapat di depan publik itu dengan etika dan norma publik,” kata Syamsuddin pada diskusi di kantor Formappi, Jakarta, Jumat (27/7).

Menurutnya, sikap OSO tersebut membuktikan bahwa dia sedang panik. Karena pasca putusan Mahkamah Konstitusi soal pelarangan pengurus partai politik menjadi anggota DPD membuat OSO harus berpikir mengenai langkah selanjutnya.

Apalagi, pendaftaran untuk calon anggota DPR sudah ditutup pada tanggal 23 Juli yang lalu. Sedangkan mayoritas pengurus Partai Hanura mencalonkan diri menjadi anggota DPD.

“OSO itu panik atas putusan itu sehingga dia sibuk memikirkan harus ngapain, makanya dia cepat-cepat ambil kuasa hukum kemudian juga memikirkan langkah-langkah selanjutnya. Dia itu panik atas putusan MK jadi ngomongnya tidak terkendali karena dia harus melakukan apa, pendaftaran sudah tutup, verifikasi ke depannya sudah berlangsung, jadi tahapan demi tahapan ini kalau tidak cepat bergerak dan menyelesaikan masalah dengan KPU ya lewat,” ujar Syamsuddin.

Menurut Syamsuddin, putusan MK tersebut sudah benar. Dikatakan, DPD seharusnya dikembalikan kepada fungsinya sebagai representasi suara daerah. DPR dan DPD merupakan keanggotaan MPR yang memiliki peran, fungsi, dan kewenangan yang berbeda.

Dijelaskan, dalam UUD, pemisahan kewenangan DPD dan DPR diterangkan secara jelas. Oleh karena itu, dengan masuknya pengurus Parpol dalam keanggotaan DPD merupakan pencaplokan politik terhadap kelembagaan DPD.

“Kalau bahasa kasarnya itu aneksasai politik terhadap kelembagaan DPD, jadi kalau masih menempatkan politisi di DPD itu betul-betul keserakahan politik seseorang karena dia ingin menguasai parlemen dan DPD. Dan rata-rata orang yang pindah dari Parpol ke DPD itu kalau bukan yang kalah di Parpol, sudah tua atau ingin menguasai lembaga negara itu,” tandas Syamsuddin.

Recent Posts

Kemenperin Klaim Desain Kemasan Berperan Penting Angkat Daya Saing Produk IKM

MONITOR, Jakarta - Fungsi kemasan tak sekadar menjadi pemanis atau pelindung bagi sebuah produk, tetapi…

41 menit yang lalu

DPR Berperan Batalkan Program Rumah Subsidi 18 Meter Persegi yang Tak Manusiawi

MONITOR, Jakarta - Kementrian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) akhirnya membatalkan usulan soal wacana pengecilan…

58 menit yang lalu

PT JMTO Raih Prestasi di Turnamen Tenis Meja Direktorat Operasi Jasa Marga 2025

MONITOR, Jakarta - Dalam rangka mempererat sinergi dan semangat sportivitas antarunit kerja, Direktorat Operasi PT…

2 jam yang lalu

PB IKA-PMII Priode 2025-2030 Resmi Dikukuhkan, Ini Susunanya!

MONITOR, Jakarta - Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA-PMII) priode…

2 jam yang lalu

40 Jemaah Masih Dirawat di Saudi, KUH Rilis Nomor yang Bisa Dihubungi Keluarga

MONITOR, Jeddah - Operasional penyelenggaraan ibadah haji 1446 H selesai pada 11 Juli 2025 seiring…

3 jam yang lalu

Hari Pertama MPLS 2025, Mendikdasmen Imbau Orang Tua Antar Anak ke Sekolah

MONITOR, Sumbawa – Mengawali Tahun Pendidikan 2025/2026, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengimbau…

6 jam yang lalu