MONITOR, Jakarta – Kepulauan Madura merupakan sentra penghasil jagung di Jawa Timur. Namun demikian tingkat produktivitas jagung lokal Madura masih tergolong rendah sekitar 1 hingga 2 ton per hektarnya dengan umur genjah 65 sampai 75 hari.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Dr Ismail Wahab mengatakan selain penggunaan varietas lokal, rendahnya produktivitas jagung antara lain disebabkan tingkat kesuburan tanah dan sedikitnya curah hujan.
“Selama ini Kabupaten Sumenep sudah mengenal Varietas Jagung Komposit (red.non hibrida) Bisma yang dapat berproduksi sekitar 3 hingga 4 ton per ha. Kemungkinan besar yang dimaksud tulisan tersebut produktivitas jagung hibrida Balitbangtan lebih rendah adalah produktivitas jagung komposit,” demikian diungkapkan Ismail guna merespon tulisan peneliti bidang pangan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) di Jakarta pada harian Kompas, yang menyatakan benih Balitbangtan, Kementerian Pertanian produktivitasnya rendah hanya 3-5 ton/ha daripada produktivitas jagung hibrida swasta yang terjadi di Sumenep Madura.
Lebih lanjut Ismail menjelaskan pada tahun 2017, Dinas Pertanian Kabupaten Sumenep memang memprogramkan pertanaman jagung komposit Bisma untuk luasan 11.000 ha di musim hujan.
Pertanaman direncanakan pada Bulan Oktober, sehingga benih akan sampai pada bulan September, tepat pada saat menjelang tanam. Program lainnya adalah inisiatif Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep untuk mendongkrak produksi jagung berupa bantuan kredit usaha rakyat (KUR) kepada petani jagung yang nanti dibayar saat panen sebesar Rp. 3 hingga 8 juta per ha melalui melalui Bank BNI. Program ini menggunakan varietas dari perusahaan benih jagung swasta.
“Produktivitas jagung komposit memang tidak sama dengan produktivitas jagung hibrida. Jagung komposit varietas Bisma disambut baik oleh petani Madura karena dapat meningkatkan produksi sampai dua kali lipat dibandingkan dengan varietas lokalnya yang menghasilkan 1 sampai 2 ton per ha,” jelasnya.
Jagung komposit ini, sambung Ismail, mempunyai kelebihan tahan kekeringan, harga benihnya murah, dan benihnya dapat langsung digunakan lagi pada musim tanam berikutnya.
Selain jagung komposit, Balitbangtan juga telah memperkenalkan jagung varietas hibridanya dengan nama Bima 9 di Sumenep.
Pada kegiatan GLIP (Gelar Lapang Inovasi Pertanian) seluas 55 Ha, produktivitas jagung varietas Bima 9 produk Balitbangtan menghasilkan 9,37 ton per ha pipilan kering.
Varietas unggul jagung hibrida Balitbangtan sudah teruji dan potensi hasilnya setara dengan varietas hibrida dari perusahaan swasta, karena telah melewati berbagai tahap seleksi dan pengujian. Pengujian ini juga menjamin mutu varietas sesuai dengan potensi genetiknya.
“Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa pertanaman di lahan kering pada musim kemarau dalam kondisi marginal tanah yang kurang subur dan keterbatasan air, jagung produk Balitbangtan masih beradaptasi dan tumbuh cukup baik,” terang Ismail.
“Petani berharap agar jagung produk Balitbangtan Kementan dapat dikembangkan lebih luas karena secara umum sangat sesuai untuk wilayah Madura yang defisit air,” imbuhnya.
Ismail menekankan Balitbangtan Kementan sebagai penghasil varietas unggul jagung nasional menghasilkan benih sumber (parent seed) untuk dikembangkan lebih jauh menjadi benih sumber. Untuk menjamin mutu benih tersebut, unit Pemerintah di Daerah memiliki instansi yang disebut dengan Balai Pengawas dan Sertifikasi Benih (BPSB). BPSB ini bertugas mengawasi mutu benih sebar yang beredar di lapangan.
“Mutu benih sebar yang dihasilkan (yang diterima petani) tidak berkorelasi dengan mutu dan keunggulan varietas,” tegasnya.
Menurut Ismail, mutu benih ditentukan oleh teknik produksi benih, proses pengolahan pascapanen, pengemasan, dan distribusi. Sedangkan mutu dan keunggulan varietas ditentukan oleh keunggulan genetik dan interaksinya dengan lingkungan.
Benih sumber yang diproduksi oleh Balitbangtan disebarkan ke penangkar benih untuk diperbanyak menjadi benih sebar. Benih sebar ini harus dijamin mutunya sehingga potensi dan keunggulan varietas tetap terjaga.
“Dengan kata lain bila ada mutu benih sebar rendah atau jelek, maka bukan berarti varietasnya yang membawa genetik yang bagus menjadi berkualitas rendah,” tandas Ismail