MONITOR, Jakarta – Peraturan KPU yang memuat larangan mantan terpidana korupsi maju sebagai calon legislatif hingga saat ini belum diundangkan oleh Menkumham. Meskipun peraturan itu telah ditandatangani dan disahkan oleh KPU.
Sementara itu, Menkumham menolak melakukan pengundangan dengan alasan PKPU yang disusun oleh KPU tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan atau putusan Mahkamah Konstitusi. Namun, Kini pertanyaannya adalah, apakah Peraturan KPU yang telah disahkan dan ditetapkan tersebut berlaku meskipun belum diundangkan.
Menanggapi hal tersebut, Praktisi Hukum Pemilu Ahmad Irawan mengatakan, dalam konteks pertanyaan hukum tersebut, ia berpendapat, kalau pengundangan merupakan bagian akhir dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Jadi posisi Peraturan KPU mengenai larangan mantan terpidana korupsi untuk nyaleg baru sampai pada tahapan pengesahan atau penetapan oleh KPU selaku pembuat regulasi dan yang memiliki wewenang untuk menyusun peraturan tekhnis penyelenggaraan,” kata Ahmad kepada MONITOR, Jakarta, Sabtu (23/6).
Kemudian, menurutnya, peraturan KPU merupakan salah satu kategori peraturan perundang-undangan yang harus diundangkan dalam lembaran negara Republik Indonesia.
“Hal ini mengingat dan didasarkan pada KPU sebagai badan atau lembaga atau komisi yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang,” ujarnya.
Selain itu, ia berpendaat kalau terkait pengundangan peraturan KPU merupakan wewenang Menteri Hukum dan HAM untuk menempatkan peraturan tersebut dalam lembaran negara dan berita negara.
“Pelaksanaan pengundangan harus dilakukan karena setiap peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat saat diundangkan,” tukasnya.
Tidak hanya itu, menurutnya pengundangan dari aspek normatif dan filosofis memiliki konsekuensi hukum bagi setiap warga negara dianggap telah mengetahui berlakunya suatu peraturan fiksi hukum.
“Jadi semua orang dianggap mengetahui hukum yang disahkan dan ditetapkan oleh KPU (presumptio iures de iure). Jika tidak ada pengundangan, warga negara atau peserta pemilu yang terikat dengan peraturan KPU tersebut tidak dapat diberi sanksi atas suatu aturan yang tidak diketahuinya,” kata Ahmad.
Dengan begitu, ia menegaskan bahwa tidak tepat dan keliru jika ada yang mengatakan Peraturan KPU yang tidak diundangkan memiliki kekuatan hukum mengikat. Kata dia, Itu merupakan pendapat hukum yang keliru.
“Saat ini kelihatannya KPU dan Menkumham tidak bergeser pada posisinya masing-masing. KPU menginginkan larangan mantan terpidana korupsi nyaleg tetap termuat. Sedangkan Menkumham berada pada posisi sebaliknya,” ungkapnya.
“Kebuntuan tersebut harus segera diakhiri mengingat kalender ketatanegaraan yang telah diatur dalam undang-undang pemilu terus jalan dan berganti. Kebuntuan harus segera diakhiri. Tidak mungkin terus menerus seperti saat ini,” tambahnya.
Untuk itu, sebagai solusinya ia menyarankan agar Menkumham segera lakukan pengundangan. Menurutnya, jika ada pihak atau warga negara yang melakukan pengujian PKPU tersebut ke Mahkamah Agung (MA), maka Mahkamah Agung mempercepat untuk memutus dan mengadili proses pengujian PKPU tersebut sebelum pendaftaran calon legislatif.
“Pada sisi yang lain, KPU memundurkan jadwal pelaksanaan pendaftaran calon legislatif menunggu putusan Mahkamah Agung. Wajah masing-masing lembaga negara terselamatkan dan kepastian hukum yang adil dapat diwujudkan. Semoga pemilu 2019 dapat dilaksanakan secara demokratis, jujur dan adil sesuai dengan prinsip konstitusionalisme,” pungkasnya.