MONITOR, Jakarta – Kementerian Pertanian melalui Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita menyampaikan Indonesia tidak akan impor daging ayam dari Brazil. Komentar tersebut muncul menanggapi isu adanya rencana impor daging ayam dari dari Brazil pasca putusan dari WTO.
Menurut I Ketut, 12 Februari lalu, telah dilakukan pertemuan antara Menteri Pertanian dengan Tim Kementerian Pertanian Brazil untuk membicarakan hubungan bilateral, khususnya di sektor pertanian dan peternakan melalui serangkaian kemitraan strategis. Didalamnya, salah satunya disepakati untuk tidak melakukan impor daging ayam.
“Menteri Pertanian RI menyetujui masuknya daging sapi Brazil ke Indonesia dan Tim Kementerian Pertanian Brazil menyetujui untuk tidak memasukkan daging ayam dan produknya ke Indonesia setelah memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan. Hal itu disebabkan karena Indonesia sudah over supply daging ayam, bahkan sudah melakukan ekspor ke Jepang, Timor Leste, Papua New Guinea dan Timur Tengah,” terang I Ketut, Selasa (8/5).
Selain itu, lanjut I Ketut, kedua negara sepakat untuk menjaga hubungan baik kedua negara melalui kerjasama peningkatan SDM Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tim Kementerian Pertanian Brazil juga akan mendorong pelaku usaha di Brazil untuk melakukan investasi breeding farm dan usaha peternakan sapi di Indonesia.
Sementara terkait adanya putusan WTO atas gugatan dari Brazil, I Ketut menerangkan, bahwa kebijakan dan regulasi impor produk hewan harus disesuaikan dengan ketentuan perjanjian WTO, “Saat ini Pemerintah sedang menyelesaikan Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (RPMP) tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian No. 34/2016 yang menyesuaikan dengan rekomendasi Panel WTO,” terangnya.
Ya, diketahui sebelumnya, Brazil mengajukan gugatan ke Badan Perdagangan Dunia (WTO) atas keberatannya terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap melakukan pelarangan dan pembatasan impor daging ayam dan produk ayam dari Brazil sejak tahun 2009. Brazil mengajukan pembentukan Panel ke Dispute Settlement Body (DSB) WTO dengan nomor kasus DS484: Indonesia – Measures Concerning the Importation of Chicken Meat and Chicken Products pada tanggal 16 Oktober 2014.
Setelah melalui serangkaian sidang DSB, Panel DS484 mengeluarkan Putusan Final (Final Report) WTO pada tanggal 10 Mei 2017 yang memutuskan 7 ketentuan (measyres), diantaranya yakni:
Pertama, terdapat 3 (tiga) ketentuan yang dimenangkan Indonesia karena Brazil dianggap gagal membuktikan ketentuan tersebut bertentangan dengan perjanjian WTO, yaitu:
1). Diskriminasi persyaratan pelabelan halal produk impor (halal labelling requirement) dimana Brazil gagal membuktikan bahwa halal labelling requirement bertentangan dengan Artikel III:4 GATT 1994;
2). Persyaratan pengangkutan langsung (direct transportation requirement) dimana Brazil gagal membuktikan bahwa direct transportation equirements bertentangan dengan Artikel XI GATT 1994 dan Artikel 4.2 AoA;
3). Pelarangan umum terhadap impor daging ayam dan produk ayam (general prohibition) dimana Brazil gagal membuktikan secara prima facie karena tidak dapat menunjukkan eksistensi pelanggaran kebijakan tidak tertulis (unwritten measure).
Kedua, terdapat 4 ketentuan yang dimenangkan oleh Brazil karena dianggap bertentangan dengan Perjanjian WTO, yaitu:
1). Daftar produk yang dapat diimpor (positif list) dimana tidak konsisten dg Artikel XI GATT 1994 & Artikel XX (d) GATT 1994;
2). Persyaratan penggunaan produk impor (itended use) dimana tidak konsisten dengan Artikel XI GATT 1994 & Artikel XX (b) dan (d) GATT 1994;
3). Prosedur perijinan impor (import licensing procedures), dengan melakukan pembatasan periode jendela permohonan dan masa berlaku persetujuan impor (application windows and validity periods) dan menetapkan persyaratan pencantuman tetap data jenis, jumlah produk dan pelabuhan masuk serta asal negara (fix license terms), dimana tidak konsisten dengan Artikel XI GATT 1994 & Artikel XX (d) GATT 1994;
4). Penundaan proses persetujuan sertifikat kesehatan veteriner (undue delay), dimana melanggar Article 8 dan Annex C (1) (a) SPS agreement.
Menanggapi final report ini, Indonesia telah melakukan serangkaian pertemuan baik internal Kementerian Pertanian maupun antar kementerian yang difasilitasi oleh Kementerian Perdagangan. Indonesia memutuskan untuk tidak melakukan banding dengan pertimbangan beberapa ketentuan yang dianggap bertentangan dengan perjanjian WTO tersebut telah dilakukan perubahan dan penyederhanaan sebagaimana dalam Permentan No. 34/2016.
Meskipun akan dilakukan penyesuaian kebijakan, namun I Ketut Diarmita menegaskan bahwa Indonesia tetap mempersyaratkan ketentuan teknis terkait dengan persyaratan sanitary (kesehatan dan keamanan pangan) dan kehalalan terhadap produk yang akan masuk ke Indonesia.
Terkait dengan persyaratan kehalalan, I Ketut menekankan saat ini Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Penyembelihan Halal pada Unggas, yang mempersyaratkan pemotongan ayam harus dilakukan secara manual satu per satu oleh juru sembelih (tukang potong). “Dengan adanya standar ini maka semua daging unggas yang akan diedarkan di Indonesia baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor wajib dilakukan penyembelihan secara manual satu per satu,” ungkapnya.
I Ketut mengatakan, meskipun ada persyaratan teknis sanitary dan kehalalan, namun dengan adanya keputusan WTO ini maka apabila negara pengekspor mampu memenuhi persyaratan teknis tersebut Pemerintah Indonesia tidak ada lagi alasan untuk melarang impor daging ayam dan produknya. “Kondisi ini tentu harus disikapi secara bijak oleh seluruh pelaku usaha perunggasan nasional dengan melakukan konsolidasi dalam upaya meningkatkan daya saing produk daging ayam nasional,” ujar I Ketut. “Pelaku usaha perunggasan nasional harus dapat meningkatkan efisiensi produksi, sehingga mampu bersaing di era perdagangan bebas ini,” tandasnya.
Selain itu, I Ketut juga menambahkan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing produk di dalam negeri masyarakat dihimbau untuk mencintai dan membeli daging ayam produksi di dalam negeri yang sudah terjamin kehalalannya dan jaminan kesehatannya karena Indonesia melarang pennggunaan hormon pertumbuhan.