Kamis, 28 Maret, 2024

Agun Gunandjar: Pansus Tidak pada Posisi Ingin Melemahkan apalagi Membubarkan KPK

MONITOR, Jakarta – Kontroversial, satu kata yang selalu melekat ketika berbicara tentang kehadiran Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, atau yang biasa disebut Pansus KPK.

Dari awal pembentukannya memang sudah menuai kritik, mulai dari keabsahan adanya Pansus tersebut hingga fokus kerja pansus dinilai hanya untuk mengintervensi kerja KPK dalam mengusut kasus-kasus korupsi.

Bersikukuh bakal memberikan perbaikan dari sisi kelembagaan, kewenangan penegakan hukum, tata kelola SDM dan tata kelola anggaran KPK, Pansus Angket DPR nyatanya memang banyak mengungkap hal-hal baru sisi lain penindakan korupsi oleh KPK yang membuka mata publik. 

Sebut saja adanya rumah safe house atau rumah sekap, lemahnya pendataan harta sitaan milik negara sampai yang terbaru adanya persaingan internal KPK yang diungkap direktur penyidikan. 

- Advertisement -

Lepas dari pro dan kontra, Pansus Angket DPR terhadap KPK yang kini sudah bekerja harus dikawal agar tidak melenceng dan fokus pada upaya penguatan KPK dengan terciptanya kontrol, agar KPK tidak menjadi lembaga yang ‘abuse of power’, KPK bekerja tidak lagi hanya mengacu kepada SOP, melainkan juga mengacu pada aturan hukum yang berlaku (Undang-Undang, HAM dan aturan hukum lainnya).

MONITOR mencoba mewawancarai Ketua Pansus KPK Agun Gunandjar guna menggali lebih dalam bagaimana Pansus KPK bekerja, apa dasar yang digunakan, apakah ada pihak yang melakukan upaya pelemahan Pansus, hingga bagaimana Pansus KPK menghadapi opini negatif yang berkembang di masyarakat.

Kepada MONITOR Agun menjelaskan, Hak Angket terhadap KPK bermula dari rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III dengan KPK yang berujung deadlock, dimana permintaan Komisi III terkait rekaman penyidikan politisi Hanura Miryam S Haryani tidak dapat dipenuhi oleh KPK dengan alasan kerahasiaan.

“Pansus angket KPK Ini bermula dari rapat dengar pendapat komisi III dengan KPK yang mengalami deadlock, sampai kita memutuskan untuk menggunakan hak angket karena KPK bersikeras tidak mau memenuhi permintaan Komisi III untuk menjawab, atau memutarkan rekaman terkait penyidikan saudara Miryam,” kata Agun.

Pasalnya, pada lanjutan persidangan terkait kasus dugaan korupsi e-KTP, Miryam yang dikonfrontasi dengan Penyidik KPK Novel Baswedan, mengatakan bahwa dirinya ditekan oleh berapa anggota Komisi III agar tidak mengungkap dugaan korups dalam proyek pengadaan e-KTP.

Bermula dari deadlock hingga terbentuk Pansus Hak Angket KPK, Agun menuturkan bahwa pihaknya malah menemukan hal-hal yang mengganjal didalam tubuh KPK. Hal itu juga yang membuat Pansus Hak Angket KPK bertahan hingga saat ini menjalankan tugasnya.

Pansus Hak Angket KPK sendiri resmi dibentuk 30 Juli 2017, yang susunan kepanitiannya diumumkan di akhir Rapat Paripurna. Saat itu lima fraksi di DPR yang mengirimkan perwakilannya di Pansus yakni Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi Hanura, Fraksi PPP dan Fraksi NasDem. Kehadiran lima fraksi tersebut sekaligus m enjawab kritik tentang keabsahan Pansus KPK, yakni jumlah fraksi yang mengirimkan anggotanya berjumlah setengah dari total keseluruhan 10 fraksi.

Berikut petikan wawancara MONITOR dengan Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunanjar di Posko Pengaduan Pansus KPK, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/8):

Pansus Angket DPR terhadap KPK terbentuk ditengah polemik sehingga menimbulkan banyak kritik, mulai dari soal sedikitnya fraksi yang mendukung hingga isu pelemahan KPK. Bagaimana tanggapan Anda?

Pansus angket KPK Ini bermula dari rapat dengar pendapat komisi III dengan KPK yang mengalami deadlock, sampai kita memutuskan untuk menggunakan hak angket karena KPK bersikeras tidak mau memenuhi permintaan Komisi III untuk menjawab, atau memutarkan rekaman terkait penyidikan saudara Miriam.

Yang sesungguhnya pengawasan bkepada KPK ini bukan hal baru yang dialami Komisi III, sebenarnya sudah lama tetapi dirasakan tidak efektif, hampir tidak pernah (KPK) menjalankan kesimpulan rapat-rapat di komisi III.

Secara aturan, memang mereka harus memberikan laporan tetapi pengertian laporan itu mereka seolah tidak bisa diawasi seperti yang lain-lain, lalu membangun opini bahwa siapa yang mengkritik KPK itu mendukung koruptor. Itu kan kondisi objektif di lapangan yang sudah bukan barang baru.

Apakah resistennya KPK, termasuk menggunakan opini publik untuk melawan termasuk juga terjadi pada usulan revisi UU KPK?

Kondisi-kondisi ini terus berlangsung sampai pada akhirnya kira menemukan hal-hal yang tidak bisa berjalan efektif fungsi pengawasan dewan kepada KPK yang justru dibentuk oleh dewan sendiri, bagaimana dia (KPK) sebagai pelaksana undang-undang yang dibentuk oleh pembuat undang-undang kalau dikritik itu resisten.

Sampai kita menggagas pemikiran karena banyak hal-hal yang menyimpang kita berinisiatif melakukan revisi undang-undang KPK, namun diperjalanan pun gagal, jujur mungkin karena opini publik sehingga Presiden pun tidak menyetujui  revisi.

Sebetulnya, usulan revisi undang-undang KPK ini dari pemerintah, tapi ketika direspon DPR dalam perkembangannya diopinikan yang ngotot ini DPR. Ini kan fakta-fakta yang di publik tidak tahu kronologinya.

Begitulah memang strategi KPK dalam salah satu temuan Pansus, yang dirilis 11 temuan pansus KPK bahwa KPK salah satunya menggunakan media, menggunakan opini dalam melakukan tugasnya melakukan demoralisasi. Sampai seolah-olah yang dikerjakan KPK itu kebenaran.

Itu yang melatarbelakangi di Komisi III setelah deadlock, ya sudah kita bentuk panitia angket. Pada posisi itu ketentuang angket ini kan ada proses unsul inisiatif,  ya kita lakukan, persyaratan anggota yang mengusul, jumlah fraksi tempuh sampaikan di Paripurna.

Terkait minimnya fraksi yang mendukung Pansus Hak Angket KPK?

Memang sejak bulan juni itu mulai muncul kontroversi, bahwa setelah pengambilan  keputusan masih banyak yang tidak menyetujui, tapi krena sudah keputusan paripurna ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat ke fraksi-fraksi untuk menyampaikan nama-nama keanggotaannya, sehingga pada akhirnya keputusan paripurna sah atau tidak sah disitu intinya. Ternyata yang jelas pada saat itu memenuhi, lebih dari separuh fraksi itu mengirimkan anggotanya, mulai dari PDI Perjuangan lalu Golkar, PPP, Nasdem, Hanura menyusul berikutnya PAN.

Sehingga pada proses pengambilan keputusan itu terpenuhi, artinya Paripurna tidak terbantahkan. Sampai Partai Gerindra mengirimkan anggotanya, namun kemudian menarik kembali itu kan persoalan lain, sampai sekarang keabsahan pansus tetapterjaga. 

Secara prosedur formal maupun materil itu sah adanya dan tidak bisa lembaga lain mengatakan sah tidak sah, karena kan urusan internal DPR.

Terkait opini bahwa Pansus ingin melemahkan bahkan membubarkan KPK, tanggapan anda bagaimana?

Ada upaya memang yang saya lihat semangatnya memang ingin menekan pansus supaya gagal, seolah-olah bahwa kami itu ingin membubarkan, melemahkan, Pansus tidak pada posisi itu, Pansus lebih kepada fungsi pengawasan yang tertinggi, hak angket untuk melakukan penyelidikan atas tugas KPK sebagaimana yang diatur dalam undang-undangnya, apakah sudah berjalan sebagaimana undang-undangnya.

Setelah kita cermati, KPK didirikan tahun 2002, memasuki usia yang ke-15 tahun, tahun depan kita memasuki dua dasa warsa reformasi, kok upaya pemberantasan korupsi ini tidak selesai-selesai. Secara kuantitatif, jika dibandingkan uang negara yang dikembalikan dengan biaya yang dikeluarkan KPK ini tidak sepadan, tidak seimbang.

Kerja KPK tidak maksimal?

Kita juga melakukan perbandingan lembaga antirasuah di negara-negara lain, disana rata-rata tidak sampai sepuluh tahun kerjanya memberantas korupsi itu selesai, sementara mereka komisi antirasuahnya itu sebatas pada penyidikan tidak sampai penuntutan, hanya kasus tertentu yang sampai penuntutan, misalnya terkait infrastruktur, di kepolisian.

Kalau kita seperti apa? padahal undang-undang Pasal 6 C sudah memberikan rambu bahwa kewenangan KPK melakukan penyidikan, penyelidikan dan penuntutan adalah kasus korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan nominalnya satu milyar. Tapi yang terjadi bukan kasus korupsi, yang banyak adalah kasus suap dan gratifikasi. Tapi yang kerugian keuangan negara yang sifatnya fantastis mana?

Saya bukan mengatakan itu kecil, korupsi dalam bentuk berapapun berbahaya. Kalau kita bandingkan dengan APBN kita yang 2000 triliun, berapa trilun yang bisa kita selamatkan? seharusnya kan perbandingannya kesana, bukan OTT yang 10juta, 100 juta bukan seperti itu.

Lalu apa ‘goal’ dari Pansus Hak Angket ini?

Pansus ini bekerja terus, sampai dengan hari ini kita fokus akan menuntaskan tugas-tugas ini sampai dengan tanggal 28 September yang mendatang,

Pada masa sidang awal, kurang lebih 1 bulan kita bekerja, kita menemukan 11 temuan, sebenarnya banyak, tapi yang heading ini kan 11.

Endingnya apa? ingin menjadikan KPK yang kuat, tetapi bukan KPK yang seperti sekarang, tapi KPK yang dalam sistem ketatanegaraan kita benar adanya dalam sebuah negara demokrasi dan negara hukum dimana adanya pemisahan, pengaturan dari cabang kekuasaan negara, termasu KPK, mendapat kontrol yang cukup. Jadi ada chek and balancing.

Seperti pernyataan Pak Jokowi yang mengatakan bahwa tidak boleh ada lembaga negara  yang merasa lebih tinggi, lebih hebat kepada lembaga-lembaga yang lain. Saya rasa itu sindiran kepada KPK.

Yang merasa lebih tinggi siapa? apakah DPR? tentu tidak, kita ada forum konsultasi dan sebagainya. Jadi artinya itu adalah sindiran bahwa jangan ada lembaga negara yang lebih tinggi diatas negara.

Dia KPK bukan eksekutif, bukan legislatif, bukan yudikatif, tapi bagaimana mekanisme kontrolnya? Jadi KPK yang kuat adalah KPK yang bisa dikontrol

Yang kedua, KPK dalam kewenangan penyidikan, penyelidikan dan penuntutan itu mengacu kepada undang-undang, bukan kepada SOP. Karena penyidikan dan penuntutan itu ada upaya paksa, ada perampasan hak-hak setiap warga negara, agar hak-hak setiap warga negara ini tetap terjaga pengaturannya tidak bisa pada SOP, tapi kepada KUHAP, nah selama ini KPK tidak patuh kepada KUHAP.

Buktinya dimana? tersangka tidak boleh didampingi penasihat hukum, bahkan ada pengacara yang tidak diterima, ada juga yang diusir, baik saksi maupun tersangka dalam praktiknya tidak boleh mendapatkan BAP, tapi media mendapatkan BAP. Disitu terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia

Maka kita ingin membuat KPK yang kuat, yakni yang dalam menjalankan tugasnya patuh terhadap hukum, patuh terhadap HAM dan itu semua ada normanya dalam undang-undang.

Yang ketiga, kita ingin membuat KPK yang kuat dalam aspek tata kelola SDM-nya, yakni adanya satu kesatuan komando kendali mulai dari pimpinan sampai yang terendah. Tapi yang terjadi hari ini adanya dualisme, yang satu patuh terhadap undang-undang negara, yang diatur dalam UU ASN, UU Kepolisian, UU Kejaksaan. Tapi dia membuat UU sendiri yang tidak ada payung hukumnya, yakni menggunakan UU KPK, itu tentang KPK, bukan SDM KPK, jadi tentang Komisi tentang segala tupoksinya. Ini yang saya bilang negara diatas negara.

Kita juga ingin KPK ini kita perkuat dalam soal anggarannya, tapi dukungan anggaran yang out come nya terukur, transparan dan akuntable. Sekarang ini banyak urusan KPK, temuan kami di BPK, bahwa BPK tidak boleh mengaudit KPK yang berkaitan dengan hal yang rahasia.

Banyak lagi, seperti tata kelola barang sitaan,  belum lagi temuan bisa memenuhi unsur pidana, seperti tugas dan prilaku yang dilakukan penyidik, terkait jumpa bertemu saksi, bertemu dengan anggota dewan.

Akankah dari empat poin ini akan bermuara ke Revisi Undang-Undang KPK?

Kongkrit apa tidak empat hal itu akan bermuara ke Revisi bisa disimpulkan sendiri. Bisa revisi, bisa tidak revisi, bisa juga tanpa revisi, tapi apa-apa yang saya sampaikan tadi harus dirumuskan, dan perumusannya itu pada level apa.

Seperti fungsi koordinasi dalam hal perlakuan kepada saksi, jelas mandatorinya itu ke UU Perlindungan Saksi, yang diberikan mandatnya kepada lembaga negara yang namanya LPSK. Apakah tidak lebih rendah LPSK kalau dalam tugas pekerjaannya harus selalu minta izin kepada KPK, begitu juga terkait lembaga pemasyarakatan.

Pada tingkatan-tingkatan itu kita akan lihat, apakah pada level UU yang harus disempurnakan, apa pada level Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri, atau pada peraturan bersamanya, itu semua akan kita lihat.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER