Categories: EKONOMIKEUANGAN

Komisi XI DPR Ingatkan Pemerintah Waspada terhadap Utang

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam mengingatkan agar pemerintah waspada terhadap utang pemerintah, pasalnya  defisit pada RAPBN 2018 ditargetkan mencapai Rp 325 Triliun. Ecky mengatakan defisit anggaran tahun 2017 menyebabkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan mencapai 28,9%, dengan penambahan utang baru pada APBN 2018, maka rasio utang akan mendekati 30%.

“Hal tersebut perlu menjadi perhatian serius, karena tren rasio utang terhadap PDB terus meningkat selama 3 tahun terakhir, dimana pada tahun 2014 hanya sebesar 25%. Hal ini menjadi indikasi bahwa utang dilakukan belum dapat mendorong produktivitas,” ujar Ecky dalam siaran pers yang diterima, Senin (21/8/2017).

Ecky mengatakan pemerintah perlu mencermati bahwa utang menjadi beban anggaran dari tahun ke tahun, melalui pembayaran bunga utang. Beban ini semakin besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, pembayaran kewajiban utang pemerintah mencapai Rp 155 Triliun atau 8,6% dari belanja negara, angka ini melonjak menjadi Rp 182 Triliun atau 9,7% dari belanja negara.

Pada tahun 2017, berdasarkan APBN 2017, kewajiban bunga utang pemerintah diperkirakan mencapai Rp 220 Triliun dan pada RAPBN 2018 yang diajukan pemerintah, beban ini mencapai Rp 247 Triliun atau 11,2% dari belanja negara. Lebih lanjut, Ecky menekankan bahwa beban pembayaran bunga utang pada RAPBN 2018 tersebut jauh lebih tinggi daripada belanja subsidi dan belanja fungsi perlindungan sosial yang berturut-turut hanya sebesar Rp 172 Triliun dan Rp 162 Triliun.

Politisi PKS ini mengingatkan pemerintah bahwa penambahan utang harus diimbangi dengan pelaksanaan program yang optimal, sehingga utang yang dikeluarkan tidak sia-sia.

“Defisit pada tahun 2015 dan 2016 tidak terrencana dengan baik terbukti tidak dapat terserap dengan baik, dimana hal ini terlihat dari besarnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) pemerintah yang pada tahun 2015 dan 2016 berturut-turut sebesar Rp 24 Triliun dan Rp 26 Triliun," ungkapnya.

“Adanya SiLPA artinya pemerintah merugi karena sudah berutang tetapi tidak digunakan. Akibatnya selain sudah menanggung beban bunga yang ada, pemerintah kehilangan peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja pemerintah,” pungkasnya.

Recent Posts

Tanggap Bencana, Helikopter MI-17 TNI Bawa Bantuan ke Kota Langsa

MONITOR, Jakarta - TNI kembali menunjukkan kecepatan dalam operasi kemanusiaan dengan mengerahkan Helikopter MI-17 V5…

1 jam yang lalu

UIN Jakarta Raih Dua Penghargaan pada Humas Kemenag Award 2025

MONITOR, Jakarta - Syarif Hidayatullah Jakarta kembali menorehkan prestasi nasional menjelang akhir tahun dengan meraih…

3 jam yang lalu

Dorongan DPR soal Bencana Aceh dan Sumatera Kirimkan Makna Rakyat Harus Jadi Prioritas

MONITOR, Jakarta - Berbagai dorongan DPR RI terkait bencana banjir dan longsor di Aceh-Sumatera, termasuk…

3 jam yang lalu

Kementerian UMKM Sinergi dengan Kemendagri dan Kemenpora Optimalkan Pengelolaan Stadion

MONITOR, Jakarta - Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menandatangani Nota Kesepahaman dengan Kementerian…

4 jam yang lalu

Puan Dorong KADIN Bangun Kekuatan Ekonomi Nasional dan Kesejahteraan Rakyat

MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani mendorong Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia…

6 jam yang lalu

ITB-AD Jakarta Dorong Kemandirian Perempuan Nelayan Maluku melalui Model TABP

MONITOR, Jakarta - Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta menegaskan komitmennya dalam penguatan…

6 jam yang lalu