Senin, 25 November, 2024

Kaleidoskop HAM, Refleksi 20 Tahun Reformasi

Oleh: Maneger Nasution

Pada usia 20 tahun reformasi, publik patut mengapresiasi beberapa capaian rezim Jokowi-JK dalam pemajuan dan penegakan HAM dalam 3,5 tahunan pemerintahannya. Apresiasi itu terutama soal kebebasan pers dan pemenuhan hak-hak Ekosob publik khususnya beberapa pembangunan infrastruktur. Publik sekali lagi mengapresiasi itu.

Tetapi dalam hal hak-hak sipil politik warga negara, meski usia reformasi telah memasuki 20 tahun, namun sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sejak rezim transisi hingga rezim kabinet kerja Jokowi-JK saat ini masih belum terungkap. Bahkan beberapa yang diduga kuat sebagai aktornya masih bebas berkeliaran, bahkan menduduki pos-pos penting kekuasaan.

Pada sisi lain, rezim yang berkuasa saat ini tampak belum bergairah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

- Advertisement -

Tanpa mengurangi penghargaan terhadap sejumlah capaian itu, apresiasi tersebut disertai sejumlah catatan.

Pertama, soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Kalau kita tracking janji politik Jokowi-JK (nawacita) tertulis penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Seperti diketahui ada 10 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung sebagai Penyidik Negara: 1) Tanjung Priok (1984), 2) Timor Timur (1999), 3) Abepura, Papua (2000), 4) Wasior dan Wamena, Papua (2000), 5) Talangsari, Lampung (1989), 6) Kasus 1965-1966, 7) Petrus (1982-1985), 8) Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 (1998), 9) Kerusuhan Mei 1998, dan 10) Penghilangan orang secara paksa (1997-1998).

Dari 10 kasus itu, ada 3 kasus (30%) yang sudah diselesaikan oleh rezim sebelum rezim Jokowi-JK, yaitu kasus Tanjung Priok, Abepura, dan Timtim. Sedangkan 7 kasus (70%) kasus lagi belum diselesaikan. Dan, bahkan sampai 3,5 tahunan rezim Jokowi-JK belum ada tanda-tanda penyelesaian komprehensif terhadap 7 kasus itu. Dalam konteks ini, rezim Jokowi-JK dinilai mendapat “rapor merah” karena belum memenuhi janji politiknya, Nawacita.

Kedua, soal penanganan tindak pidana terorisme. Bahwa aksi terorisme oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun adalah musuh kemanusiaan. Hanya penanganannya harus tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM. Untuk itu pemerintahan Jokowi-JK harus melakukan perbaikan penangan terorisme sesuai perspektif HAM.

Ketiga, soal kebebasan beragama. Pemerintahan Jokowi-JK harus memastikan kehadiran negara dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negara khusunya hak atas kebebasan beragama. Adanya kriminalisasi terhadap beberapa ulama/tokoh agama; munculnya OGGB (orang gila gaya baru) pemburu ulama/tokoh agama; pelarangan pemakaian atribut yang diyakini sebagai yang bernuansa agama oleh pemakainya di beberapa kampus, dan lain-lain. Itu menunjukkan patut diduga keras ada problem hak atas kebebasan beragama di rezim ini.

Keempat, soal hak memperoleh informasi yang benar. Rezim Jokowi-JK belum maksimal memastikan kehadiran negara menindak tegas pelaku dan penebar berita hoax dan ujaran kebencian demi terpenuhinya hak publik untuk memperoleh informasi yang benar (rights to know) secara berkeadilan. Ada laporan publk yang dinilai ditangani secara cepat. Pada kasus lain ada pengaduan masyarakat yang dinilai belum direspon secara sama. Bahkan ada yang lenyap bak ditelan bumi.

Kelima, soal isu lingkungan. Pemerintahan Jokowi-JK perlu menghentikan, setidaknya menunda proyek reklamasi (37 proyek reklamasi, 20 proyek direncanakan, 17 proyek berjalan) sampai terpenuhi AMDAL dan disetujui masyarakat terdampak demi terpenuhinya hak publik atas ekologi dan lingkungan serta hak-hak masyarakat terdampak.

Keenam, soal demokrasi. Presiden Jokowi dinilai sedang mengancam masa depan demokrasi dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas misalnya. Dan, celakanya DPR mengesahkan RUU Perppu Ormas tersebut. Kini Perppu Ormas yang digagas rezim Jokowi itu resmi menggantikan UU Nomor 17 tahun 2013. Pengesahan Perppu Ormas itu menjadi UU Ormas memantik pro-kontra. Bagi yang pro, meyakini UU Ormas itu adalah bentuk kehadiran negara mengatur hak-hak sipil warga negara. Sedang bagi yang kontra, menilai UU Ormas teranyar itu di samping cacat proses kelahiran, substansinya juga mengancam masa depan demokrasi dan HAM serta mengingkari Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat). Untuk itu patut didukung upaya masyarakat sipil yang melakukan uji materi (judicial review) UU Ormas tersebut demi masa depan demokrasi.

Ketujuh, soal sekolah ramah HAM. Pemerintahan Jokowi harus memastikan kehadiran negara untuk mencegah dan memastikan tidak terulang lagi peristiwa-peristiwa kekerasan di sekolah dan merealisasikan sekolah ramah HAM.

Dalam pengamatan Pusdikham Uhamka, dan yang dilaporkan ke KPAI, sepanjang awal 2018 saja, kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan nasional didominasi oleh kekerasan fisik, finansial atau pemalakan atau pemerasan 72 kasus, kekerasan psikis 9 kasus, dan kekerasan seksual 2 kasus.

Dunia pendidikan nasional kembali berduka. Kekerasan fisik, psikis, dan seksual kembali terjadi. Meskipun yang terungkap oleh media dan polisi belum tentu menggambarkan fakta yang sesungguhnya. Kasus kekerasan di dunia pendidikan itu adalah seperti gejala gunung es.

Selain itu, Pusdikham juga melakukan pengamatan langsung terhadap kasus kekerasan seksual oknum guru terhadap peserta didik yang viral di media dengan angka mencapai 13 kasus yang tidak dilaporkan ke KPAI. Artinya sepanjang awal 2018 saja ada 15 kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan nasional.

Dengan demikian trend kekerasan fisik, psikis, dan seksual di dunia pendidikan nasional tersebut terbilang cukup tinggi. Artinya, kasus kekerasan fisik dan pemalakan/pemerasan sebanyak 75 persen, kekerasan psikis 9,37 persen, dan kekerasan seksual 15,63 persen.

Kedelapan, soal demokrasi kampus. Mendesak Presiden Jokowi memerintahkan Kementerian Agama untuk mengkaji ulang Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Sebab jika pemilihan rektor dilakukan oleh Menteri Agama maka akan mematikan budaya demokrasi di kampus. Coba bandingkan, masyarakat awam saja dipercaya untuk berdemokrasi lewat Pileg, Pilpres dan Pilkada.

Sementara para Guru Besar yang mengajarkan demokrasi justru dianggap tidak mampu berdemokrasi. Apalagi alasan Kemenag adalah pemilihan rektor oleh senat sering sekali menimbulkan perpecahan di kampus. Ini sungguh penghinaan terhadap guru-guru besar dan mencederai prinsip demokrasi dunia kampus. Untuk itu PMA tersebut harus dicabut, setidaknya direvisi.

Kesembilan, soal masa depan pemberantasan korupsi. Pemerintahan Jokowi harus hadir secara konsisten menjamin penguatan kelembagaan KPK dan perlindungan pembela HAM atau HRD (Human Rights Defenders) khususnya aktivis antikotupsi. Kasus Novel Baswedan (NB), misalnya. Sekarang, sudah 1,2 tahun lebih kasus teror penyiraman air keras tehadap NB belum juga ada titik terang yang menggembirakan. Untuk itu mendesak Komnas HAM menunaikan mandatnya membentuk semacam TGPF kasus NB dengan melibatkan unsur masyarakat. NB dan keluarga juga meminta Presiden membentuk semacam Tim Independen/TGPF kasus NB guna kepastian hukum dan memenuhi hak keluarga untuk tahu tentang pelaku dan tindak lanjut kasus tersebut ( rights to know). Sebab lainnya, kasus ini juga mengancam masa depan pemberantasan korupsi.

Kesepuluh, soal persekusi. Salah satu definisi Persekusi (bahasa Inggris: persecution) adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.

Dalam catatan Pusdikham Uhamka selama 2017 ada 48 kasus persekusi. Teranyer kasus dugaan persekusi terhadap tokoh agama, Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh sekelompok orang intoleran di Bali (8/12/2017).

Kesebelas, soal perlindungan warga negara. Selama 2017 ada beberapa peristiwa di mana negara tidak hadir menunaikan mandatnya melindungi warga negara di dalam maupun di luar negeri. Kasus terdekat adalah dideportasinya Ustadz Abdus Somad (UAS) oleh otoritas bandara Hongkong.

Akhirnya, rezim Jokowi-JK hanya punya waktu sekira 1,5 tahun lagi. Tidak ada pilihan lain kecuali bersegera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dan, memastikan tidak ada lagi pelanggaran HAM yang sama di masa mendatang (guarantees of nonrecurrence).

*Penulis merupakan Direktur Pusdikham Uhamka, Mantan Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Alumni PPRA 55 Lemhannas RI

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER