Jumat, 19 April, 2024

Komisioner KPAI: Sindikat Trafficking dan Eksploitasi Anak Harus Disikat

MONITOR, Jakarta – Kasus trafficking dan eksploitasi anak belakangan semakin tak terkendali. Bak fenomena gunung es, satu kasus belum tuntas, mencuat kasus lainnya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sebanyak 32 laporan mengenai kasus trafficking dan eksploitasi anak terjadi di tiga bulan awal tahun 2018. Mirisnya, dari sekian banyaknya kasus, eksploitasi seks komersial terhadap anak mendominasi catatan tersebut.

Dalam dua pekan ini, Jakarta sebagai kota metropolitan terus menjadi highlight media massa. Itu menyusul terjadinya kasus penculikan anak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dijadikan pengemis di Pariaman, Sumatera Barat. Disusul kasus perdagangan anak ke WNA di kawasan Jakarta Selatan, hingga terbongkarnya bisnis prostitusi anak di Apartemen Kalibata City, Jakarta Pusat.

Fenomena ini membuat Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah kesal. Ai yang menggawangi bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak merasa Indonesia tengah darurat perlindungan anak. Seharusnya, anak yang merupakan cikal bakal generasi penerus bangsa mendapatkan perlindungan atas pemenuhan hak-haknya.

- Advertisement -

Saat ditemui Redaksi MONITOR di Kantor KPAI, Rabu (25/7), Ai membeberkan sejumlah pengaduan masyarakat terkait kasus trafficking dan eksploitasi anak. Ia juga mengkritisi penanganan pemerintah yang masih lemah dan kurangnya jaminan perlindungan bagi anak Indonesia. Berikut ini petikan wawancara eksklusif bersama Ai Maryati Solihah.

Bagaimana pandangan KPAI terkait banyaknya laporan kasus trafficking anak yang masuk?

Pertama, saya rasa terlebih dahulu masyarakat harus memahami apa sebenarnya eksploitasi pada anak, apa itu trafficking. Dalam bahasa Indonesia, trafficking itu adalah perdagangan orang. Ini jelas problem kemanusian ketiga di dunia. Yang pertama, terorisme yang sebabkan kematian. Kedua, sindikat narkoba atau obat bius, dan yang ketiga adalah perdagangan orang, karena ini menjadi bagian industri komersial seksual misalnya atau menjadi industri bisnis, misalnya perbudakan, prostitusi termasuk didalamnya pornografi, penyelundupan orang, hingga transplantasi tubuh manusia.

Saya kira dalam konteks anak, ini menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Kita bukan hanya berbicara kasus by kasus, tetapi berbagai kebijakan walaupun sudah sedemikian kaya namun sangat sulit bagaimana pola perdagangan orang itu terjadi di Indonesia.

Sejauh ini, apa langkah yang sudah dilakukan oleh KPAI?

Banyak hal kita lakukan dalam berbagai perjanjian. Tetapi mari kita deteksi data-datanya yang sangat luar biasa. Kalau di KPAI, sehari-hari saya menerima laporan sebagai fungsi yang paling utama, menerima laporan dan pengaduan kemudian kami juga melakukan visiting pengawasan, bisa juga yang melakukan pelanggaran yang sifatnya sama dengan apa yang saya lakukan kepada melaporkan kepada yang berwajib berikutnya kita bisa melakukan penelaahan. Kalau mediasi tidak ada di saya, karena bentuknya adalah pidana. ada dari tahun 2017 ada 1578 kasus itu menjadi urutan ke 5,6,7 dari 9 cluster yang ada di KPAI.

Angka ekploitasi anak di tahun 2018 ini sangat tinggi, benarkah?

Sebelumnya, kalau bicara tahun 2017 saja kita ada 293 kasus, memang tradingnya ada penurunan dari 2016. Tetapi saya sampaikan, bahwa konteks perdagangan orang ini di atas saja, sementara di permukaan kita tidak tahu satu kasus yang diperjualbelikan itu jarang 1 orang, contoh perdagangan bayi di kabupaten Simalungun, yang ditemukan 8 anak.

Sindikatnya berjalan lebih dari 10-20 tahun. Kalau kita menemukan dan ditemukan oleh polisi kita tidak tahu berapa puluh anak, dan memang yang tertinggi saat ini tahun 2018.

Contoh kasus terakhir yang anda tangani

Saya menemukan kasus, salah satunya anak-anak yang dijual menjadi penjual tisu di kawasan Blok M ke WNA. Anak anak tidak tahu kalau harus dicabuli atau disetubuhi. Mereka taunya sebagai teman ngobrol. Namun, anak-anak malah dieksploitasi secara seksual.

Kasus yang lainnya?

Trafficking anak di dalamnya perdagangan anak, salah satunya gurita jual beli. Jadi kalau modusnya illegal adoption ini salah satunya menyasar kepada jual-beli anak-anak bayi. Padahal tidak semuanya anak bayi, ada juga anak yang sudah remaja, dewasa. Kemarin terakhir anak di bawah usia 12 tahun dijual ke Pariaman untuk kebutuhan anak jalanan. Jadi dia kumpulkan untuk mengemis.

Ada juga korban eksploitasi pekerja anak. Mereka berada di tempat tempat terburuk di pertambangan, sawit, anak dieksploitasi, sebagai contoh dijadikan pengemis, jualan cobek batu di pabrik petasan seperti tidak ada masalah. Seperti kemarin kasus pabrik petasan meledak di Tangerang. Pengawasan Menaker terlihat lancar saja. Namun, ketika ditelusuri ternyata anak-anak belasan tahun ke bawah ikutan kerja ngepak petasan, ini jelas pabriknya kimia sangat membahayakan anak.

Terkait prostitusi online, belakangan banyak anak-anak terciduk sengaja melakukannya. Sebenarnya apa yang melatarbelakangi mereka nekat menjadi pelaku prostitusi?

Sebenarnya ini lagu lama. Semua orang tahu, bagaikan rahasia umum dalam konteks pendekatan anak, itu harus ada pendekatan yang sistematis, mengapa mereka bisa di prostitue ke hotel-hotel mewah yang sulit kita akses.

Kenapa sih penyebabnya kok anak-anak bisa menjadi migrasi besar-besaran mereka bekerja seperti itu, dipekerjakan seperti itu tentu kita harus melihat disitu ada aspek budaya, aspek edukasi sosial ekonomi kita saat ini. Kenapa kritik kita pada persoalan seperti itu? ya karena bagaimanapun juga, ini tidak bisa diabaikan. Angka kemiskinan sudah ada datanya. Sedangkan KIS, KIP atau misalnya KJP di Jakarta malah tidak bisa menyelesaikan masalah anak yang putus sekolah.

Artinya, si anak benar-benar terpaksa melakukannya?

Anak korban prostitusi ini awalnya ada onlinenya, tetapi lama-lama online itu hanya terkini saja, tetapi secara tradisional juga masih berlangsung seperti anak-anak yang dijual di Aceh, dia dirumahkan lalu dicarikan pelanggan.

Ini sangat terlihat bagaimana sisi konvensionalnya sisi prostitusi. Yang kedua tadi ada sisi online yang disebutkan bagaimana anak-anak ini kemudian, mereka mencari, mempunyai willing atau kerelaan, mereka masuk ke dalam jaringan prostitusi rumah-rumah atau apartemen mewah. Kami temukan rumah di Surabaya dan tiga anak di Kalibata City.

Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah menunjukkan berkas laporan saat ditemui redaksi Monitor di kantornya (dok: Saptofama Monitor)

Kasus eksploitasi anak juga terjadi saat momentum Hari Anak Nasional, bagaimana pandangan anda?

Ya, di Hari Anak kemarin baru laporan bahwa konteks eksploitasi, anak-anak ini sekarang menjadi kelompok yang terorganisir yang sangat rentan untuk masuk ke dalam jaringan prostitusi. Jadi bukan lagi eksploitasi komersial yang didalamnya terjadi ajakan, rayuan, bujukan, pemaksaaan, akan tetapi anak-anak ini sudah masuk ke dalam sindikat dimana mereka memiliki willing mencari, menemukan, datang, kemudian bisa saja ia meminta, membeli, mencari, menyuap supaya ia “dapat” kelompok-kelompok yang mampu memanfaatkan dirinya, dan ia mendapatkan biaya materi tentu.

Saya kira ini menjadi pergeseran, ini sangat menjadi refleksi yang besar. Bagaimana konteks eksploitasi yang besar kemudian dimanipulasi sedemikian rupa menjadi sebuah budaya baru yang didalamnya ada organism, materialism, kefoya-foyaan tingkat tinggi, bahkan anak-anak pun berfantasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik secara instan, yang jauh lebih have fun, happy, terbebas dari segala macam tuntutan dari anak-anak remaja, anak sekolahan yang memang harus mengikuti norma-norma dan di bawah pengawasan orang tua.

Agar anak Indonesia tidak terjerumus ke dalam pusaran eksploitasi atau prostitusi, caranya?

Anak-anak Indonesia ini masih banyak yang cerdas dan masih dapat pendidikan yang lebih baik. Mereka juga punya nilai moral etika yang sangat luhur. Nilai keagamaan juga menyumbang agar anak-anak menjadi sholeh dan sholehah.

Perilakunya baik, santun, memiliki adat istiadat timur yang harus dipertahankan. Sebegitu banyak kasus prostitusi, kita harus bersikap optimis harapan besar pada anak-anak bangsa ini masih sangat tinggi, bagaimana kita ingin menciptakan situasi yang kondusif yang aman yang layak bagi mereka. Saya kira anak-anak Indonesia tetaplah jadi anak-anak yang bermain, ceria, menikmati masa kecilnya.

Kalau terpaksa melakukan karena terdesak faktor ekonomi?

Saya kira ketika seorang yang tetap memiliki ekonomi ataupun tidak, tetapi masih punya i’tikad yang bagus, punya mentalitas yang bagus, karakter yang dibuat keluarga yang mampu menjadi orang yang problem solving, jadi dia mampu menjadi orang yang mampu menghadapi masalah, maka keterbatasan itu sangat mungkin bisa dilewati. Pembekalan yang paling efektif, di karakter, di keluarga, harus bersyukur punya keluarga dengan nilai norma-norma.

Apakah Pemerintah hanya diam saja melihat fenomena ini?

Pemerintah tidak tinggal diam, sampai tugas gugus desa selalu ada di tempat-tempat seperti salah satunya Cianjur, Banten yang agak rawan di Indramayu, dan wilayah pantura itu sangat tinggi. Disitu ada gugus tugas. Namun ini semua tergantung bagaimana gugus tugas menjemput bola, mengedukasi, jangan hanya ada akses baru rame-rame. Ini semua diperlukan energitas dan kerja sama.

Dari KPAI, adakah tim khusus atau komunitas yang diterjunkan untuk mengawasi kasus trafficking dan eksploitasi anak?

Kami sebetulnya tidak punya tupoksi untuk sampai pada memiliki program sosialisasi. Tugas kita mengawasi, apakah program pemerintah bisa menyasar, karena ini pengaduan dan tetap banyak pengaduan ke kami. Hasil-hasil angka pun cukup tinggi, jadi untuk apa.

Bentuk pengawasannya seperti apa?

Seperti yang saya sampaikan di Kalibata City, bagaimana Kalibata menutup ruang, seperti edukasi ke RT/RW-nya itu sangat susah. Seolah-olah itu adalah sekelompok masyarakat yang urban, susah disentuh. Padahal mereka bagian dari Indonesia, mereka punya RT/RW walaupun 13 ribu masyarakat di Kalibata City mereka seperti memiliki dunia sendiri.

Nah setelah terjadi beberapa kali di tahun 2018 hingga sekarang, terdapat 4 kali ditemukan di media sebegitu kuatnya anak-anak di traffic, maka kami melakukan intervensi. Kita mendorong KPPA memanggil Dinas Perumahan dan Rakyat, Dinas Sosial, Kepolisian dan Manajamen Apartemen.

Apakah KPAI punya terobosan baru untuk mencegah kasus serupa?

Ya, sekarang langkah-langkah kita adalah membangun revitalisasi community watch. Artinya, komunitas yang ada di apartemen itu berfungsi semaksimal mungkin menolak agar jangan melakukan transaksi haram di apartemen. Laporan ini sudah saya sampaikan ke KPPA, sehingga KPPA melek.

Nah bicara Kementerian PUPR, sebenarnya pengawasan apartemen itu ada dimana? kalau di rumah susun bisa diawasi, tapi bayangkan di apartemen mereka mau sewa saja bisa ke seribu tangan penyewa untuk menjual anak-anak ini. Sejam dua jam gak jadi masalah, kan dia bayar. ternyata pemiliknya ini setidaknya dia punya 20 unit, emang bisa diawasi segitu ketatnya kadang 1 unit yang disewa yang punya perilaku bejat itu.

Saya kira di sinilah ya hasil-hasil laporan KPAI harus menjadi ajang revitalisasi bagi pembangunan, artinya bagaimana KPPA membuat propgram APBN-nya dalam menyentuh dan mengintervensi di berbagai sektor itu berdasarkan hasil-hasil pengawasan, berdasarkan temuan-temuan.

Harapan anda kepada para stakeholder negeri ini?

Kami akan terus melihat bagaimana pergerakan trafficking dan eksploitasi di Indonesia. Kita tidak akan tinggal diam, kita sudah menggandeng dan mengajak beberapa kelompok supaya modus-modus baru terkait trafficking dan eksploitasi ini bisa diatasi oleh bangsa Indonesia.

KPAI juga sudah koordinasi dengan KOMPOLNAS supaya ada efek jera dengan pelaku, supaya tidak terjadi lagi para anak-anak ini dieksploitasi, para pelakunya dibebaskan, apalagi ditangguhkan. Sebab ini adalah pidana. Mereka harus dihukum seberat-beratnya dan kemudian anak-anak bangsa ini diselamatkan, hingga pada rehabilitasi, kembali kepada keluarga reunifikasi dan adanya restitusi ketika mereka tercerabut di ruang pekerjaan yang baik.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER