Jumat, 19 April, 2024

Dedi Mulyadi: Cara Berpikir Gubernur Harus Berbeda dengan Bupati atau Walikota

MONITOR, Purwakarta – Dedi Mulyadi, namanya mulai terdengar semenjak ia menjabat sebagai Bupati Purwakarta, sebuah daerah yang tak jauh dari Ibukota Jakarta dan Ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung. Bukan hanya soal Purwakarta-nya, tapi soal kebijakan Dedi yang acapkali mengundang decak kagum, tak jarang pula menerima kritik bahkan cibiran.

Pada era-Dedi yang telah menjabat selama dua periode, pembangunan di Purwakarta dapat dikatakan berhasil dan mengundang decak kagum dari daerah lain. Padahal, sebelumnya Purwakarta sebagai Kabupaten terkecil di Jawa Barat itu hampir tidak dikenal oleh masyarakat. 

Beralih dari Purwakarta, nama Dedi semakin dikenal jelang Pilkada Jawa Barat 2018, dimana Dedi dipastikan menjadi Calon Gubernur dari Partai Golkar.  Penasaran dengan sososk Dedi Mulyadi, budayawan sekaligus birokrat sukses yang akan tampil di Pilkada Jabar itu, MONITOR mengunjungi Kabupaten Purwakarta guna menggali kiat sukses Dedi dalam membangun Purwakarta hingga jabatan Gubernur Jawa Barat dalam kacamata Dedi Mulyadi.

Benar saja, keramahan Dedi menyambut kedatangan MONITOR cukup menggambarkan kearifan lokal suku Sunda, di Gedung Kembar, Purwakarata, Senin (14/8) ia menjelaskan bagaimana ia memadukan ajaran budaya suku Sunda dalam memimpin tanah Sunda, hingga pandangan kedepan tentang membangun identitas Sunda Besar, yakni Jawa Barat.

- Advertisement -

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi saat berbincang dengan Redaksi MONITOR

Berikut petikan wawancara MONITOR dengan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi di Gedung Kembar, Purwakarta, Senin(14/8) :

Keberhasilan Kang Dedi dalam membangun Purwakarta cukup dirasakan masyarakat. Apa yang menjadi kunci dari keberhasilan tersebut?

Pertama ini bukan keberhasilan Saya, ini keberhasilan seluruh masyarakat Purwakarta, keberhasilan para pegawai Pemda (Pemerintah Daerah-red) Kabupaten Purwakarta yang rela dipimpin saya selama kurang lebih sepuluh tahun menggunakan metode yang tidak umum digunakan oleh para birokrat.

Reformasi anggaran saya lakukan dengan membenahi struktur anggaran Pemerintah tidak lagi berbasis anggaran rutin, dan memotong seluruh kegiatan-kegiatan yang tidak penting. Kemudian mengefektifkan seluruh belanja, mengefisiensikan pengeluaran. Itulah yang membuat reformasi anggaran berhasil.

Dari reformasi anggaran kan muncul proyek-proyek strategis yang dapat dinikmati masyarakat, terutama pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan kesehatan, peningkatan jaminan pelayanan kesehatan, peningkatan jaminan pelayanan pendidikan, bahkan kita pun sekarang dokter sudah berbasis keluarga, kemudian perawatnya berbasis keluarga, bukan lagi ketersediaan bidan dan perawat di puskesmas, tapi di setiap desa sudah kita siapkan.

Kemudian semua regulasi itu kan sudah diatur dalam teknologi sistem informasi yang memadai. Sebentar lagi kita mau launching teknologi sistem informasi yang paling memadai di Indonesia. Nah, semuanya itu terintegrasi dalam sistem, bagaimana aparatur memiliki kepatuhan yang tinggi kepada bupatinya, tidak lagi main-main di belakang, patuh pada apa yang digariskan, mengerjakan pekerjaan yang beresiko paling tinggi pun berani pasang badan. Nah regulasi ini lah yang membuat Purwakarta seperti hari ini.

Purwakarta ini kan berangkat dari tidak ada, bukan dari ternama, yang hampir namanya tidak dikenal, yang hampir infrastrukturnya tidak ada yang memadai, dari pariwisatanya tidak ada satu pun yang menonjol, dari masyarakatnya juga yang biasa-biasa saja. Kita berangkat dari yang tidak ada menuju ada. Dari tidak dikenal menjadi ternama.

Soal pembangunan infrastruktur hingga kebijakan-kebijakan Kang Dedi, Purwakarta nampak berbeda dari daerah lain. Misal kebijakan ATM Beras, dan penempatan simbol-simbol budaya suku Sunda di setiap sudut kota, apa yang menjadi pendorong untuk melakukan hal itu?

Bukan Purwakarta yang berbeda dengan yang lain, tapi yang lain berbeda dari Purwakarta. Purwakarta ini yang original, yang semestinya dilakukan, karena kita membangun Purwakarta yang berbasis Indonesia, berbasis Nusantara, berbasis Sunda, yang lain menggunakan istilah dan fase-fase berfikirnya Barat atau Timur Tengah. Nah kita berbasis Nusantara, kita tidak kekanan, kita tidak kekiri, Indonesia itu ditengah, nah saya menerapkan hal itu sebagai penganut ajaran Bung Karno, menerjemahkan gagasan-gagasan Bung Karno dengan adil bukan hanya dalam bentuk kata-kata.

Berkaitan dengan isu bahwa Kang Dedi sebagai penganut Sunda Wiwitan, bisa dijelaskan?

Kenapa alergi kepada Sunda Wiwitan? Sunda Wiwitan adala ajaran tata cara orang Sunda bagaimana mengelola alam dan lingkungan. Pertanyaan saya, kalau lita mengurus alam tanah Sunda kita bergurunya kepada siapa? Sama orang Sunda, cara mengurus tanah Jawa Barat harus pakai ilmunya siapa? ilmunya Sunda Wiwitan. 

Ketika dikatakan Sunda Wiwitan bertentangan dengan ajaran Islam, saya bertanya, tunjukkan yang bertentangan dengan ajaran Islam? Rumah panggung bertentangan dengan ajaran Islam? Rumah pakek jendela bertentangan dengan kaidah Islam tidak? Rumah pakai dapur, ada leuit (lumbung padi), ada goah (gudang makanan), terus memelihara pohon, memelihara sungai, tidak melakukan perusakan, justru itu secara substantif ajaran Islam

Orang Sunda Wiwitan itu kelemahannya cuman satu, tidak bersyariat sesuai kaidah Islam, syariat yang mana? Syariat rukin fiqih, mereka tidak shalat, mereka tidak mengucap syahadat seperti kita, mereka tidak berformal zakat seperti kita, bisa jadi memberinya lebih dari kita, tapi tidak berformal, mereka tidak berhaji, merka tidak berpuasa formal kayak kita, tetapi puasanya lebih dari kita. Artinya Saya secara personal hari ini mengucap syahadat, saya shalat, saya berpuasa, saya berzakat, saya ber-Haji, artinya kedatangan Islam hari ini menyempurnakan yang belum sempurna, tetapi yang sudah baik tidak boleh dirusak, itulah kaidah Nahdatul Ulama (NU). 

Kalau kaidah membangun rumah panggung itu baik di tanah Sunda, ya pertahankan, kalau dibangun tembok ya roboh kalau ada gempa. Kalau sistem leuit itu baik ya gunakan daripada kelaparan terus makan beras miskin. Kalau (kesenian) gentreng kacapi baik intuk mengingatkan kita kepada Allah ya teruskan. Makanya saya tanya, yang bertentangan dengan kaidah Islamnya itu yang mana, kan tidak bisa menunjukkan.

Apakah usaha untuk melestarikan budaya Sunda ini yang menjadi kontroversi soal Kang Dedi di tengah masyarakat?

Sebenarnya bukan saya yang kontroversi, kontroversi kenapa? karena masyarakat telah meninggalkan nilai-nilai ke-Indonesiaan dalam waktu yang sangat lama, ketika dikembalikan, maka Indonesia itu dianggap baru. Jadi sebenarnya kita yang mangasingkan diri di negeri sendiri.

Akibat prilaku kebudayaan yang berubah, maka kita menjadi asing tidak terasa, dan bangga. Bahkan nanti kelama-lamaan beragama kita cuman ucapan. Kita beragama Islam, tapi baju kita bukan kita lagi, kita beragama Islam tapi makanan kita bukan kita lagi, karena tradisi kita sudah hilang, nah saya ini orang yang memegang teguh tradisi.

Kenapa? karena berpegang teguh kepada tradisi itu berdampak kepada kemandirian ekonomi, ketika semua sudah diasingkan berdampak pada kita yang ketergantungan dan kita tidak bisa tidur di rumah kita sendiri.

Pengalaman tentang agama, ketika tradisi menjadi bingkai kekuatan dari Agama, Agama juga memperkuat tradisi, apa yang terjadi dengan Indonesia, 300 tahun dijajah Belanda, tidak berubah prilaku tradisinya, tidak berubah prilaku Agamanya, alamnya utuh, sungainya utuh, kemudian Belanda meninggalkan kekayaan alam untuk kita kelola, 72 tahun Indonesia merdeka, apa yang berubah dari negeri ini? orang-orang sudah tidak lagi seperti orang Indonesia, ketika kita dijajah ke-Indonesiaan kita tinggi, ketika tidak dijajah ke-Indonesiaan kita pudar. Setelah itu kekayaan kita makin menipis, hasil tanah bergeser, pertambangan sudah orang lain, harusnya kan dengan merdeka ini bertambah.

Imbasnya ke masyarakat?

Dari tradisi yang saya terapkan timbul kesejahteraan, seperti dokter di desa, ambulance on-call, lebih canggih dari smart city-nya kota besar, kita bukan hanya smart city, kita village, kita (Purwakarta) ada desa dan kota.

Orang kota tidak punya beras, kita lengkap ada desa ada kota. Kita, punya gedung bertingkat, punya beras, punya suplai air bersih, punya pohon.

Soal Pilkada Jawa Barat 2018, bagaimana Kang Dedi mamandang jabatan Gubernur sesungguhnya?

Gubernur itu bukan Bupati-Walikota, maka cara berpikirnya tidak boleh sama dengan Bupati- Walikota. Karena satu, gubernur itu tidak punya rakyat, Gubernur tidak punya wilayah, kerna itu cara berpikir Gubernur tidak boleh sama dengan Bupati Walikota, cara berpikir programnya, maka tugas Gubernur itu mengintegrasi wilayah Bupati-Walikota bernama Jawa Barat.

Setelah terintegrasi, dia memiliki empat basic kultur, satu basic kultur sunda kulon, dua sunda priangan, tiga sunda cirebon,  yang keempat sunda betawi, dari semua itu dulu disebutnya sunda besar.

Dari basic kultur itu menghasilkan turunan lagi, apa? branding. Nah fungsi Gubernur itu mengintegrasikan semua ini. Nah didalamnya dia punya fungsi evaluasi anggaran, maka dia punya maping perencanaan berdasarkan data BPS, ketika laporan evaluasi anggaran sampai ke Gubernur, maka nanti Gubernur melakukan intervensi, karena Gubernur memiliki hak administratif. 

Misalnya bupati itu prioritas anggarannya jalan, jembatan, irigasi, listrik, rumah rakyat miskin, jadi bapak (Bupati) fokus disitu. APBD-nya fokus disitu, diluar itu yang menjadi kewajiban kami di Provinsi adalah satu, dokter di setiap desa, dua, pelayanan perbankan berbasis pedesaan, tiga, semua beras yang dkonsumsi oleh masyarakat tidak boleh beras miskin, semua harus bermutu tinggi dengan  berbasis online, dengan sistem online ATM beras, kemudian yang ke empat, bidan desanya harus ada, yang ke limanya peningkatan gaji aparatur negara, pembangunan rumah rakyat miskinnya diperkuat, disinilah fungsinya Gubernur. Jalan bareng, jadi tuh provinsi. Begitu saja cukup, dan itu butuh waktu tiga tahun selesai, tinggal diintegrasikan saja.

Selama ini nggak efektif, ini kabupaten provinsi garapnya sama, di provinsi ada porgam bantuan jalan lingkungan, ini gimana, nanti diatur. Kata orang Sunda mah 'teu menang pacorokokot' (tidak boleh tumpang tindih) selesai. Jadi fungsi Gubernurnya harus dekat dengan Bupati Walikotanya, kalau nggak dekat gimana bisa maping program setiap hari. Kayak persis saya dengan kepala desa, kan ngurus provinsi kan mudah, jadi antar perencanaan daerah berbeda dengan daerah lainnya.

Jadi habiskan dahulu APBD Kabupaten sesua dengan kebutuhan publik yang mendesak di kabupaten kota nah Gubernur melengkapi itu. Jadi itu barang, nah itu saya katakan butuh waktu tiga tahun. Pokoknya ngurus negara itu sama kayak ngurus dapur.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER