Kamis, 28 Maret, 2024

Revolusi Perancis dan Jatuhnya Kekuasaan Sang Raja

Rakyat Perancis muak dengan kekuasaan sang raja

MONITOR – Galangan kekuatan massa (people power) jadi alat paling efektif untuk menurunkan sang pemimpin dari tahtanya. Fenomena ini sudah terjadi di beberapa negara belahan dunia, misalnya peristiwa Revolusi Perancis (1789-1799), Revolusi Libya, Revolusi Iran hingga Reformasi Indonesia tahun 1998 di era Presiden Soeharto.

Revolusi Perancis misalnya. Peristiwa ini bermula dari ketidakpuasan rakyat atas pemimpinannya, yaitu sang raja. Rakyat Perancis menaruh kebencian dan amarah yang meletup-letup terhadap raja dan keluarga kerajaan. Selama ratusan tahun, tampuk kepemimpinan Perancis berada di tangan raja.

Sebelum terjadinya Revolusi Perancis, kondisi sosial politik dibawah kendali Raja Louis XVI. Louis terkenal sangat menjunjung tinggi kekuasaan yang dimilikinya. Dengan sistem monarki, kekuasaan Louis tidak bisa disentuh atau dibatasi oleh Undang-Undang maupun Lembaga Dewan Legislatif. Bahkan di jamannya, badan legislatif yang ada yaitu Etats Generaux justru dinonaktifkan.

Kebencian rakyat semakin tak terbendung, ketika Raja Louis XVI dan permaisurinya, Ratu Marie Antoinette, kerap melakukan pemborosan keuangan kerajaan. Padahal kondisi saat itu, Perancis dirundung krisis ekonomi akibat membiayai sejumlah perang, seperti Perang Tujuh Tahun melawan Inggris, dan Revolusi Amerika.

- Advertisement -

Hedonisme dan perilaku konsumtif anggota keluarga kerajaan membuat defisit anggaran negara. Louis XVI pun diangkat menjadi raja saat kondisi perekonomian memburuk. Pengeluaran negara justru lebih besar daripada pemasukan yang didapatkan. Akibat krisis moneter, Louis XVI berencana memberlakukan pajak bagi kalangan bangsawan. Akan tetapi, kaum bangsawan menentang keras rencana tersebut dan mengusulkan pembentukan etat generaux.

Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi yang diyakini berada di benteng dan penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli, ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak dan diarak ke sekeliling kota.

Pada tanggal 27 Agustus 1789, Dewan Konstituante mengumumkan Hak Asasi Manusia dan Warga (Declaration des Droits de l’homme et du Citoyen) sebagai dasar dari pemerintah baru. Pada tanggal 14 juli 1790 UUD Perancis disahkan. Dengan demikian pemerintahan Perancis berubah menjadi Monarki Konstituonal yang membatasi kekuasaan Raja.

Tanggal 14 Juli, para pemberontak dan orang-orang yang berbeda-beda yang disebut Bastille. Bastille juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Pertempuran terjadi di Bastille antara pemberontak dan militer. Dalam beberapa jam sebelum sakit hari, barang itu berhasil direbut oleh kaum pemberontak.

Raja Louis XVI mundur untuk sementara waktu karena khawatir terhadap tindak kekerasan yang bisa saja menimpanya. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional Paris setelahnya. Simbol Lapangan Tenis yang bernama Jean-Sylvain Bailly kemudian menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan baru yang kemudian dikenal dengan istilah komune .

Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni Paris menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan.

Selanjutnya, pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis untuk mengikuti contoh mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan perlawanan yang lemah.

Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik.

Revolusi Perancis ini mengakibatkan Raja Louis XVI pada tanggal 17 Januari 1793, dituntut hukuman mati. Raja Louis pun menghadapi eksekusi mati pada tanggal 21 Januari 1793 lewat pemenggalan kepala dengan guillotine. Eksekusi tersebut menimbulkan peperangan dengan negara-negara Eropa lain. Kemudian pada tanggal 16 Oktober 1793, Ratu Marie Antoinette juga dipenggal dengan guillotine.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER