Jumat, 29 Maret, 2024

Polemik Vonis Meiliana, MUI Minta Semua Pihak Jangan Asal Ngomong

MONITOR, Jakarta – Vonis 18 bulan penjara terhadap kasus penodaan agama yang menimpa Meiliana di Tanjung Balai, Sumatera Utara terus menuai pro dan kontra di masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada semua pihak untuk menghormati putusan Pengadilan.

Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid mengaku menyesalkan banyak pihak yang berkomentar tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sehingga pernyataannya bias dan menimbulkan kegaduhan dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat.

“Seakan-akan masalahnya hanya sebatas pada keluhan ibu Meiliana terkait dengan volume suara azan yang dianggap terlalu keras,” kata Zainut dalam pernyataan pers yang diterima MONITOR, Jumat (24/8/2018).

Menurut Zainut, jika masalahnya hanya sebatas keluhan volume suara azan terlalu keras, dirinya meyakini tidak sampai masuk wilayah penodaan agama.

- Advertisement -

“tetapi sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik dan bernada ejekan, maka keluhannya itu bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama,” tandasnya.

Zainut menambahkan kasus seperti yang dialami oleh Meiliana pernah terjadi juga terhadap ibu Rusgiani (44) yang dipenjara 14 bulan karena menghina agama Hindu. Ibu rumah tangga itu menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis.

“Dan juga kasus Saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta,” tambahnya.

“Hendaknya masyarakat lebih arif dan bijak dalam menyikapi masalah ini, karena hal ini menyangkut masalah yang sangat sensitif yaitu masalah isu agama,” tegasnya.

Zainut meminta semua pihak jangan membuat pernyataan yang justru dapat memanaskan suasana dengan cara menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk melawan putusan pengadilan. Apalagi jika pernyataannya itu tidak didasarkan pada bukti dan fakta persidangan yang ada.

“MUI berharap agar masyarakat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari berbagai kasus yang terjadi, bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu dengan lainnya, sehingga tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER