Potensi Moral Hazard pada Ketentuan RUU Migas

0
1200
Pengamat ekonomi energi dari UGM Fahmy Radhi

Oleh: Fahmy Radhi*

Setelah hampir 8 tahun, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akhirnya menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) ke Presiden Joko Widodo untuk dibahas dengan menteri yang ditunjuk oleh presiden. Penyusunan draft RUU Migas, yang merupakan inisiatif DPR, memberikan perluasan kewenangan dan kontrol DPR yang lebih besar dalam pengelolaan Migas.

Perluasan kewenangan DPR itu di antaranya penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan penetapan kuota impor BBM dan gas harus atas persetujuan DPR, serta pengendalian Badan Usaha Khusus (BUK) Migas. Dalam draft RUU Migas pada Pasal 22 ayat 2 diatur bahwa Pemerintah Pusat wajib menetapkan harga BBM sama untuk seluruh wilayah Indonesia. Pada Pasal 22 ayat 4 disebutkan bahwa penetapan harga BBM sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus mendapat persetujuan DPR.

Pasal 44 menyebutkan bahwa BUK Migas merupakan badan usaha yang dibentuk secara khusus berdasarkan UU, yang berkedudukan langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Fungsi utama BUK adalah menyelenggarakan dan mengendalikan kegiatan usaha hulu, midterm dan hilir Migas. Pembentukan BUK sebenarnya tidak tepat, bahkan cenderung blunder. Pasalnya, BUK tidak dikenal sebagai business entity yang dapat melakukan kegiatan bisnis secara langsung.

Konsekuensinya, kontrak BUK dengan KKKS merupakan hubungan antar Government to Business (G2B). Hubungan G2B bisa membahayakan bagi negara jika terjadi perselisihan BUK dengan KKKS, lantaran negaralah yang akan dituntut oleh KKKS di Arbitrase Internasional.

Perluasan kewenangan dalam penetapan harga BBM dan kuota impor Migas, serta pengendalian BUK tidak hanya akan memperlambat dalam proses pengambilan keputusan bisnis, tetapi juga berpotensi menimbulkan moral hazard. Pada setiap proses permintaan persetujuan DPR terhadap keputusan corporate actions tidak bisa dihindari akan terjadi tawar-menawar dengan DPR, yang berpotensi memicu moral hazard. Selain itu, penempatan BUK Migas yang berkedudukan langsung di bawah Presiden berpotensi mengundang intervensi DPR secara berlebihan. Intervensi DPR itu tidak hanya dalam pemilihan pimpinan BUK saja, tetapi juga pada setiap keputusan corporate actions BUK, yang harus memperoleh persetujuan DPR.

Ketimbang BUK, Holding Migas dalam bentuk persero yang barangkali lebih tepat untuk menjalankan kewenangan BUK. Alasannya, holding Migas selama ini dikenal sebagai business entity yang dapat melakukan kegiatan bisnis secara langsung maupun tidak lansung melalui anak-anak perusahaan di bawah holding.

Untuk menjalankan kegiatan bisnis di hulu, midterm, dan hilir, holding migas akan membawahi semua kegiatan bisnis anak-anak perusahaan yang salama ini dilakukan oleh Pertamina dan PGN, serta seluruh anak perusahaannya.

SKK Migas dijadikan business entity, di bawah holding Migas, untuk menjalankan bisnis jasa dalam riset potensi Migas, penyiapan lahan Migas dan mewakili negara dalam menandatangani kontrak dengan KKKS. Sedangkan BPH Migas tetap dipertahankan sesuai dengan fungsinya sekarang dalam pengaturan dan pengawasan distribusi Migas.

Oleh karena itu, ketentuan dalam draft RUU Migas yang mengatur perluasan kewenangan dan kontrol DPR perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk dihapus. Sedangkan ketentuan pembentukan BUK sebaiknya diganti dengan holding Migas, yang berkedudukan secara kelembagaan di bawah Menteri BUMN dan secara teknis di bawah Menteri ESDM, bukan di bawah Presiden. Dengan demikian, kontrol DPR terhadap holding Migas dapat dilakukan melalui Menteri BUMN dan Menteri ESDM.

*Penulis Adalah Pengamat Ekonomi Energi UGMJ dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini