Kamis, 28 Maret, 2024

Hoax yang Berpotensi Melanggar UU Anti Terorisme

Oleh: Emrus Sihombing*

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto pekan ini mengemukakan pandangan bahwa penyebar hoax  bisa masuk sebagai peneror masyarakat. Karena itu, katanya, para penyebar hoax memungkinkan bisa dijerat dengan Undang-Undang Anti Terorisme. Pernyataan ini disampaikan adanya dugaan ancaman dalam bentuk hoax terkait pemilu.

Pemikiran Wiranto ini menarik untuk disimak. Di satu sisi, ungkapan ini bisa dipandang sangat tepat dan rasional. Namun, di sisi lain bisa juga dinilai berlebihan. Mengapa?

Pemikiran Wiranto tersebut bisa dipahami sebagai pandangan yang sangat tepat. Tentu, bila pesan hoax berpotensi mengganggu, mengancam dan dapat menimbulkan kekacauan atau keselamatan warga negara, baik secara individu atau kolektif. Sementara dianggap berlebihan, bila hoax hanya berdampak pada tingkat pengetahuan tentang sesuatu.

- Advertisement -

Untuk itu, perlu dilakukan analisis kuantitatif untuk melihat dampak dan analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika dan framing untuk mengungkap makna paripurna dari sebuah atau rangkaian pesan hoax.

Berdasarkan analisis tersebut, maka ada dua jenis hoax. Pertama, hoax yang mengancam tatanan sosial. Hoax jenis ini bisa menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Misalnya, menyebarkan pesan hoax bahwa di satu wilayah hunian padat penduduk akan terjadi gempa dasyat yang disertai Tsunami yang hebat, yang sama dengan yang terjadi di Aceh, yang terjadi tiga hari ke depan; hoax yang mengatakan bahwa aliran listrik ke rumah-rumah penduduk akan mati secara serentak di seluruh wilayah negara dalam jangka waktu lama; hoax yang menyampaikan bahwa saluran air berbayar ke rumah-rumah mengandung bakteri yang mampu mematikan manusia yang menggunakannya dalam waktu hitungan menit; hoax tentang bahwa pemilu akan rusuh sehingga terjadi gerakan massa hebat, dan sebagainya.

Pada hoax yang pertama ini, menurut hemat saya, bisa saja dikenakan UU Anti Terorisme dan bahkan UU ITE sekaligus, karena dampaknya sangat berbahaya dan jmaknanya jelas yang bisa menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat.

Kedua, hoax yang tidak mempunyai dampak serius. Misalnya, hoax yang mengatakan bahwa ditemukan ada jejak manusia pertama di suatu desa di Indonesia; hoax tentang ada mahluk monster di sungai Kali Ciliung; hoax bahwa ada hewan berkaki empat menyerupai wajah manusia, dan sebaginya. Hoax semacam ini, cukup hanya diduga melanggar UU ITE. Sangat berlebihan bila dikenakan UU Anti Terorisme.

Jadi, apakah hoax dapat dijerat dengan UU Anti Terorisme dan atau UU ITE, saya berpendapat, sangat tergantung pada gradasi makna dan pengaruh dari pesan dan penyebaran sebuah atau serangkaian pesan hoax itu sendiri. Karena itu, pengelompokan hoax menjadi hal penting ketika menentukan UU yang bisa dikenakan kepada terduga pemproduksi dan penyebar hoax, apakah dengan UU ITE dan atau UU Anti Terorisme.

*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER