Jumat, 29 Maret, 2024

Hoax Kejahatan Komunikasi

Oleh: Emrus Sihombing*

Mungkin sudah pernah terdengar di telinga kita adanya kejahatan ekonomi sebagai perbuatan yang tidak mengindahkan moral, etika kepatutan dan peraturan perundang-undangan bidang perekonomian. Misalnya, bidang perdagangan, keuangan dan sebagainya. Kejahatan yang sama pasti juga terjadi di bidang lain, seperti kejahatan bidang komunikasi.

Meminjam pengertian kejahatan ekonomi di atas, maka kejahatan komunikasi bisa diartikan sebagai perbuatan memproduksi dan menyebarkan pesan yang tidak mengindahkan moral, etika kepatutan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aktivitas komunikasi di ruang publik.

Karena itu, menurut saya, hoax merupakan salah satu bentuk kejahatan komunikasi luar biasa (extra ordinary crime). Sebab, pesan hoax sangat didominasi yang bukan fakta dan data, bersifat provokatif, adu domba, acapkali berujung men-delegitimasi institusi formal (misalnya eksistensi negara) dan kredibilitas sosok pemimpin yang masih legitimate.

- Advertisement -

Dengan demikian, hoax bukan berita. Sangat tidak pantas dipakai kata “berita” di depan kata “hoax”. Jadi, tidak ada “berita hoax”, yang ada pesan kebohongan alias hoax. Hoax adalah hoax – kebohongan adalah kebohongan. Sedangkan berita berbasis pada fakta dan data yang sudah melalui proses check & recheck secara ketat yang berfungsi memberi informasi (mengurangi ketidakpastian), mendidik dan menghibur khalayak (masyarakat).

Sebagai kejahatan komunikasi luar biasa (extra ordinary crime), hoax sangat berpotensi menimbulkan (mengkonstruksi) perbedaan pandangan yang sangat tajam dan bersifat emosional yang negatif, gesekan sosial, konflik horizontal dan kekacauan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik seperti menimbulkan ketidaknyamanan relasi antar individu serta antar kelompok dalam suatu tatanan sosial atau dalam suatu negara kebangsaan. Kondisi sosial semacam ini merupakan bahaya laten terhadap eksistensi kohesi sosial dalam suatu negara.

Dari susut rentang waktu, ada tiga hal yang saya sarankan kita dilakukan sebagai bangsa untuk melawan serta menolak atau paling tidak membuat hoax layu sebelum berkembang. Pertama, jangka pendek, yaitu masa kampanye Pileg dan Pilpres saat ini, pelaksanaan pemilu dan pasca pemilu.

Pada jangka pendek ini, seluruh komponen bangsa seperti politisi, partai, caleg, tim sukses, capres-cawapres, pemerintah, lembaga negara, LSM, organsisasi kemasyarakatan, akademisi dan sebagainya harus bersama-sama mengkampanyekan anti hoax dan secara simultan menggelorakan komunikasi beradab dan nilai-nilai ke-Indonesia-an di ruang publik. Salah satu wujud konkritnya, misalnya, bila paslon Pilpres A diserang hoax, maka paslon Pilpres B maju ke depan membela paslon Pilpres A tersebut, seraya menjelaskan bahwa paslon mereka (paslon Pilpres B) tidak mau menang di tengah maraknya hoax.

Upaya kampanye anti hoax sebagai contoh, Polri segera melakukan kampanye anti hoax, demikian Kadiv. Humas Polri, di Radio Elshinta, pagi ini. Upaya Polri mengkampanyekan anti hoax ini, sejatinya disambut dan sekaligus disemarakkan oleh semua kementerian dan instansi pemerintah di bawah presiden, sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing. Bila memungkinkan, menurut saya, agar kampanye anti hoax oleh semua kementerian dan instasi pemerintah tersebut terkoordinasi dengan baik dan mencapai sasaran secara efektif, maka yang menjadi leading sector (penggerak) adalah Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Kedua, jangka menegah, merumuskan RUU Anti Kejahatan Komunikasi dengan sanksi fisik yang sangat-sangat berat dan disertai dengan sanksi sosial lainnya, seperti kerja sosial yang mengenakan seragam khusus. Pemberian sanksi yang berat sebagai efek jera pagi pelakunya dan sekaligus “lonceng peringatan” bagi orang lain agar tidak sekali-kali memproduksi dan menyebarkan segala bentuk kejahatan komunikasi. Sebab, kejahatan komunikasi merupakan perbuatan yang sangat berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari kejahatan korupsi. Kejahatan komunikasi bisa mengkonstruksi realitas sosial yang menimbulkan kekacauan yang berpotensi mengganggu keberadaan dan keutuhan suatu negara.

Ketiga, jangka seterusnya, yaitu sejak dulu dan hingga tanpa batas waktu ke depan, agar seluruh rakyat Indonesia bersama-sama mengelorakan komunikasi ke-Indonesia-an yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Misalnya, melakukan komunikasi inklusif dan beradab di ruang publik. Untuk point ketiga ini, perlu direvitalisasi dan dioptimalisasi tugas dan fungsi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lembaga ini harus terus bersemangat, jangan sampai melempem.

*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER