Kamis, 28 Maret, 2024

Hak Pilih “Orang Gila” Diprotes, Ini Penjelasan KPU

MONITOR, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan memfasilitasi hak pilih bagi penyandang disabilitas mental di Pemilu 2019. Meski demikian, KPU menyadari banyak pihak-pihak yang akan menentang kebijakannya itu sebagaimana hak masyarakat normal.

Hal itu diungkapkan Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi. Pram, demikian panggilannya, menilai penolakan tersebut didasari atas kecurigaan segelintir pendukung paslon tertentu.

“Saya tahu di luar sana masih ada yang tidak setuju dengan rencana KPU mendata pemilih dengan gangguan jiwa dan/atau ingatan. Dan saya merasa hal ini sepenuhnya dilatari kecurigaan para pendukung fanatik kedua kubu, bahwa pemilih seperti itu akan diarahkan (oleh petugas KPU) untuk memenangkan Paslon lawan,” ujar Pram, dalam pernyataan tertulisnya di laman Facebook, Senin (3/12).

Pram menjelaskan, pertama, dalam Putusan MK No. 135/2015 sudah dinyatakan bahwa gangguan jiwa/ingatan itu dari sisi waktu/durasi dapat dibedakan menjadi dua, yakni permanen/kronis dan non-permanen/episodik. Sementara dari sisi kualitas dapat dibedakan menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat.

- Advertisement -

Kemudian dikatakan Pram, dalam Putusan MK itu juga sudah diuraikan bahwa gila hanya salah satu jenis dari abnormalitas mental. Jenis yang lain ada banyak, misalnya stress, depresi, cemas, paranoid, latah, fobia, dan fikiran buruk.

“Nah, jenis-jenid gangguan ini lah yang tidak banyak dipahami orang. Padahal masing-masing tentu memiliki perbedaan tingkat pemulihan, baik dari sisi kecepatan maupun kualitasnya,” terangnya.

Kedua, lanjut Pram, perlu juga dijelaskan bahwa pendataan pemilih itu dilakukan dengan tiga cara, pertama, mendatangi dari rumah ke rumah. Ditanyakan berapa anggota keluarga yang sudah punya hak pilih, apa jenis kelaminnya, bla.. bla… bla, dan adakah yang penyandang disabilitas. Kalau ada, jenis disabilitasnya apa; Kedua, menerima laporan langsung dari masyarakat, yang merasa belum terdaftar, atau sudah terdaftar tapi ada data (nama, tanggal lahir, alamat, dll) yang salah; Ketiga, meminta data penghuni panti sosial, Lapas, Rutan, dan sejenisnya, lalu nama-nama itu dikroscek sesuai alamat tinggalnya.

“Dari sini sudah kelihatan, bahwa KPU tidak mendata orang gila yang di jalan-jalan. Karena memang bukan begitu prosedur kerjanya. Lagi pula, dalam Putusan MK juga sudah dinyatakan bahwa orang dengan psikosa (gila) yang berciri-ciri hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri, telah pasti, dengan penalaran yang wajar, tidak akan didaftar sebagai pemilih,” terangnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER