Selasa, 23 April, 2024

Awas Penumpang Gelap di Pilpres 2019!

MONITOR, Jakarta – Dalam sebuah diskusi lintas aktivis di Jakarta, Mei lalu, mantan aktivis 98 yang kini anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu, menyebut istilah “penumpang gelap” yang menyusup dalam demokrasi Indonesia.

Mereka, menurut Masinton, selalu memanfaatkan ruang kebebasan dalam Demokrasi untuk menyebarkan informasi dan isu-isu yang tidak sesuai dengan data maupun fakta di lapangan.

Isu-isu tidak benar alias hoax itu disebar melalui media sosial sebagai ruang kebebasan berekspresi. Tujuannya tidak lain untuk menyebarkan kekacauan di masyarakat. Lebih jauh lagi, kata Masinton, bisa sampai mengganti Pancasila sebagai dasar negara.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, pernyataan Masinton soal “penumpang gelap” patut diwaspadai. Terlebih, beberapa waktu belakangan ini muncul berbagai dinamika sosial yang sarat kepenitingan politik. Sebut saja gerakan #2019GantiPresiden atau dimunculkannya #2019TetapAntiPKI yang mengambil momentum September untuk menyindir pemerintah.

- Advertisement -

“Sangat mungkin banyak isu yang ditumpangkan ke politik. Bisa saja isu komunis, anti-Islam, pro China, dll. Dan ketika isu-isu dilempar tentu itu ada agenda-agenda politik di balik itu,” kata Emrus saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (22/09/2018).

Isu-isu yang digulirkan itu, kata Emrus, bisa saja berdampak positif bagi elektabilitas salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dan sebaliknya bagi pasangan rivalnya. Namun dia yakin isu-isu gelap itu tidak datang dari partai pengusung, tim sukses formal, apalagi kandidat yang akan berkontestasi.

“Semua kandidat dan timnya saya yakin akan menghindari politik identitas atau isu-isu yang menimbulkan polarisasi di akar rumput,” kata Emrus.

“Dan saya berpendapat, yang seperti ini harus kedua kekuatan (kandidat) yang menolaknya,” tegasnya. Jika kedua kandidat sepakat, pertarungan politik akan berada di level program. Tidak lagi memperebutkan identitas, religiusitas, kesukuan, dan sebagainya.

Menyoal saling klaim kelompok ulama di antara kedua pasangan capres dan cawapres, Emrus mengatakan hal itu seharusnya tidak terjadi, agar tidak ada celah bagi “penumpang gelap” memanfaatkan situasi.

“Saya berharap para ulama dari berbagai latar belakang organisasi berkumpul agar tidak terjadi polarisasi di masyarakat. Karena tugas ulama adalah memberi kesejukan dan role model bagi masyarakat”.

Pancasila, menurut Emrus, adalah benteng terakhir untuk menghadapi pada penumpang gelap yang ikut bermain dalam kontestasi politik 2019. “Nasionalismae, Pancasila, NKRI, Bahasa Indonesia, harus kita jadikan pegangan kita. Tidak boleh diganggu oleh kekuatan apa pun,” ujarnya.

Karena itulah, dia termasuk pihak yang tidak sepakat wacana debat capres dan cawapres menggunakan bahasa Inggris. “Pertama Bahasa Indonesia itu identitas bangsa, kedua debat itu untuk rakyat bukan untuk para kandindat. Supaya Rakyat bisa mengambil keputusan,” tutup Emrus.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER