Jumat, 29 Maret, 2024

“Politikus Sontoloyo” dan “Politik Genderuwo” Siapa Disasar Jokowi?

MONITOR, Jakarta – Masyarakat masih belum lupa ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara soal ‘politikus sontoloyo’ saat membagikan 5.000 sertifikat hak atas tanah untuk masyarakat di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa 23 Oktober 2018. Lantas, Jokowi mengingatkan masyarakat tidak terpengaruh oleh politikus yang berniat memecah belah bangsa.

Setelah ‘politikus sontoloyo’, kini Jokowi memunculkan istilah baru di dunia perpolitikan, yaitu ‘politik genderuwo’. Entah siapa yang disasar Jokowi soal ‘politik genderuwo’ ini. Yang pasti, capres petahana nomor urut 01 itu sempat melontarkan istilah ‘sontoloyo’ yang bikin heboh jagat perpolitikan.

Pernyataan soal ‘politik genderuwo’ ini disampaikan Jokowi saat pidato pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat 9 November 2018. Dalam kesempatan itu, dia menyebut saat ini banyak politikus yang pandai memengaruhi. Banyak yang tidak menggunakan etika dan sopan santun politik yang baik.

“Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran. Setelah takut yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat menjadi, memang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga menjadi ragu-ragu masyarakat, benar nggak ya, benar nggak ya?” katanya.

- Advertisement -

Politikus yang menakut-nakuti itulah yang dia sebut sebagai ‘politikus genderuwo’. “Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Nggak benar kan? Itu sering saya sampaikan itu namanya ‘politik genderuwo’, nakut-nakuti,” tegasnya.

Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin punya tafsiran mengenai politik genderuwo yang disampaikan Jokowi. Menurut timses Jokowi, politik genderuwo isinya menakut-nakuti masyarakat.

“Politik genderuwo itu seperti menebar pesimisme bahwa Indonesia akan hancur ketika kita sama-sama sedang berjuang bangsa,” kata Wakil Sekretaris TKN, Raja Juli Antoni dalam keterangannya, Jumat 9 November 2018.

Sementara itu, Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Abdul Kadir Karding mengatakan, politik genderuwo biasanya bermain propaganda. Perasaan rakyat, lanjut Karding, jadi tak menentu.

“Presiden menyampaikan politik genderuwo, yakni politik dengan melakukan propaganda, menimbulkan ketakutan dan ketikdakpastian kepada rakyat,” kata Karding. “Padahal politik harusnya menimbulkan kesenangan dan kegembiraan,” imbuh politikus PKB itu.

Sementara itu, Calon wakil presiden Sandiaga Uno bingung dengan ungkapan ‘politik genderuwo’ yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Genderuwo yang Sandi tahu adalah sebutan untuk hantu.

“Ada memang politik genderuwo, genderuwo bukannya hantu gitu? Nggak ada bentuk gitu? Atau ada bentuknya tapi gede?” ujar Sandiaga usai menghadiri Deklarasi Nasional Dukung Prabowo-Sandi di GOR Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat 9 November 2018.

Sandi mengungkapkan, ia tidak ingin membawa narasi-narasi politik yang disebutnya name calling seperti ungkapan politik genderuwo. “Saya nggak ingin membawa narasi ini untuk saling name calling,” ujarnya.

Justru, Sandiaga melanjutkan, dia ingin memuji politisi yang bisa fokus di bidang ekonomi. Apalagi, lanjut Sandi, jika politisi tersebut memiliki prestasi yang baik di bidang itu. Politisi tersebut, menurutnya, harus diberikan kesempatan untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.

“Saya cenderung tidak name calling, tapi saya cenderung untuk memberikan kesempatan untuk memperbaiki. Nah 2019 ini kesempatan untuk memperbaiki ekonomi kita,” katanya.

PKS menilai istilah ‘politik genderuwo’ yang diucapkan Presiden Joko Widodo lebih tepat disematkan kepada pemerintah. “Politik genderuwo lebih tepat disematkan ke penguasa. Karena banyak janji-janji kampanye yang tak mampu ditepati sehingga perlu membuat semacam apologi,” kata Direktur Pencapresan PKS Suhud Alynudin kepada wartawan.

Suhud kemudian berbicara mengenai sifat genderuwo yang disebut manipulatif. Ia pun mengaitkan sifat tersebut dengan kondisi ekonomi bangsa saat ini.

“Dalam mitos yang kita kenal, salah satu sifat genderuwo itu manipulatif. Genderuwo suka menipu mangsanya untuk menutupi wujud aslinya yang buruk dengan berubah wujud. Karena konon genderuwo bisa menyamar menjadi wujud pihak yang ingin dimangsanya,” paparnya.

“Jika kehidupan ekonomi saat ini dirasakan rakyat semakin berat, dunia usaha lesu, daya beli rakyat lemah, jadi the real genderuwo itu siapa?” lanjut Suhud.

Entah siapa yang disasar Jokowi soal ‘politik genderuwo’ ini. Yang pasti, capres petahana nomor urut 01 itu sempat melontarkan istilah ‘sontoloyo’ yang bikin heboh jagat perpolitikan.

Jokowi berbicara soal ‘politik sontoloyo’ saat membagikan 5.000 sertifikat hak atas tanah untuk masyarakat di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa 23 Oktober 2018. Lantas, Jokowi mengingatkan masyarakat tidak terpengaruh oleh politikus yang berniat memecah belah bangsa.

“Hati-hati, banyak politik yang baik-baik, tapi juga banyak sekali politik yang sontoloyo. Ini saya ngomong apa adanya saja sehingga mari kita saring, kita filter, mana yang betul dan mana yang tidak betul. Karena masyarakat saat ini semakin matang dalam berpolitik,” kata Jokowi.

Soal ‘sontoloyo’ ini sudah dijelaskan lebih lanjut oleh Jokowi. Dia mengaku kesal terhadap cara-cara politik kotor. Eks Gubernur DKI Jakarta tersebut menegaskan tidak pernah sebelumnya mengeluarkan istilah itu.

“Inilah kenapa kemarin saya kelepasan, saya sampaikan ‘politikus sontoloyo’ ya itu. Jengkel saya. Saya nggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel ya keluar. Saya biasanya ngerem, tapi sudah jengkel ya bagaimana,” katanya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER