Sabtu, 20 April, 2024

Peneliti IPB Ragukan Independensi Pengamat Pendukung Impor Beras

MONITOR, Bogor – Peneliti Pusat Studi Bencana, Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Koordinator Nasional Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey meragukan para pengamat yang mendukung kebijakan Menteri Perdagangan baru-baru ini Agustus 2018 menambah impor beras 1 juta ton sehingga total impor di tahun 2018 ini mencapai 2 juta ton.

Sebelumnya Januari hingga Mei 2018, Menteri Perdagangan telah mengimpor beras secara bertahap totalnya 1 juta ton.

“Apabila dipaksakan impor tambahan 1 juta ton lagi, dipastikan mubajir dan ujung-ujungnya akan menekan harga gabah petani sehingga gairah bertani menurun. Akhirnya petani dipastikan terus merugi dan terus berada di dalam lingkaran setan kemiskinan,” demikian diungkapkan Pri Menix di Bogor, Sabtu (25/8/2018).

Karena itu, Pri Menix menginginkan agar kebijakan impor beras ini secepatnya diaudit. Pasalnya, kebijakan ini tidak sinergi dan selalu bertolak belakang dengan gerakan Mentan Amran bersama jajarannya yang selalu di lapangan menggerakkan tanam padi dan memacu produksi.

- Advertisement -

“Bila ada beberapa pengamat yang masih memutar-balikkan informasi, tentunya bisa diragukan independensinya dan mudah mudahan bukan merupakan bagian dari mafia beras,” tegasnya.

Perlu diketahui, beberapa pengamat mendukung kebijakan impor beras ini. Yakni Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal bahwa swasembada beras yang digembar-gemborkan pemerintah diragukan. Ketua Umum Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa memperkirakan, kebutuhan untuk mengimpor beras berpeluang kembali terjadi pada tahun ini. Alasanya bersandar pada data AB2TI, 50% daerah penghasil padi mengalami gangguan berupa kekeringan saat masa tanam. Bahkan Andreas bersama ekonom INDEF Rusli Abdullah mengklaim tata kelola beras Tanah Air terlampau buruk yang berdampak pada tingginya harga produksi.

“Pandangan beberapa pengamat belum tentu benar. Cara pandangnya subjektif dan ruang lingkung sempit. Seharusnya mengkaji kondisi perberasan secara komprehensif. Misal, kebijakan impor beras bisa saja diputuskan mengingat tahun ini sudah memasuki tahun politik,” jelas Pri Menix.

Dia menilai diputuskannya impor beras bukan berarti produksi beras dalam negeri tidak meningkat. Jadi perlu diluruskan informasi simpang siur dan menyesatkan dari beberapa pengamat dan praktisi tentang perberasan.

“Ini sekaligus menanggapi pengamat dari INDEF dan peneliti dari CORE serta AB2TI yang meragukan kemampuan Indonesia menyediakan beras sendiri sehingga solusinya impor,” ucap Pri Menix.

Fakta kerja keras dan keberhasilan peningkatan produksi beras pada era pemerintahan Jokowi-JK ini patut diapresiasi. Lihat saja, banyak terobosan peningkatan produksi yang telah dilakukan yakni sejak 2015 hingga kini telah direhabilitasi jaringan irigasi 3,2 juta hektar, mekanisasi 380 ribu unit alat mesin, subsidi benih dan pupuk, asuransi 1 juta hektar pertahun dan lainnya.

“Hasilnya, kemampuan produksi padi kita sangat kuat. Bukti pertama, saat 2015 terjadi El-Nina terbesar 2.95 dejarat C SST, dengan berbagai program pompanisasi, sumur dangkal, hujan buatan dan tanam di rawa lebak, telah mampu berproduksi dan hanya impor 1,5 juta ton beras,” ungkap Pri Menix.

Untuk membukti hal ini, sambung Menix, dengan membandingkan Elnino 2015 itu tertinggi sepanjang sejarah dengan El-nino tertinggi sebelumnya tahun 1998 sebesar 2,53 derajat C SST. Di tahun 1998-1999 Indonesia mau tidak mau harus mengimpor beras dalm jumlah besar yakni 12,1 juta ton.

“Nah apabila 2015 tidak ada Program Upaya Khusus peningkatan produksi padi, dengan penduduk 2015 sebesar 255 juta jiwa dan kondisi iklim lebih parah dari 1998 di mana penduduk saat itu 201 juta jiwa, maka dipastikan 2015 akan impor beras 16,8 juta ton dan di dunia ini tidak ada beras sebanyak itu,” ujarnya.

Untuk itu, Pri Menix mengingatkan para pengamat agar perlu juga bersikap dewasa dan jujur mengedepankan intelektualnya dalam menyoal kondisi perberasan. Artinya, jangan melupakan prestasi dan kerja keras yang dilakukan pemerintah.

“Ini kan bukti prestasi produksi saat iklim paling ekstrim. Masa menilai persoalan beras hanya menggunakan kaca mata kuda, satu arah. Parahnya menurut data sendiri, bukan fakta secara keseluruhan,” sebutnya.

Bukti berikutnya dikatakan Pri Menix, produksi beras lokal kuat. Faktanya, pertambahan jumlah penduduk 2014 hingga 2018 sebanyak 12,8 juta jiwa itu lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura. Tambahan penduduk 12,8 juta jiwa butuh tambahan pasokan 1,7 juta ton beras dan terbukti selama ini pasokan cukup dipenuhi dari tambahan produksi petani.

“Di tahun 2016 Indonesia tidak ada impor beras konsumsi, sejatinya beras masuk pada awal 2016 itu merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1, 5 juta ton tahun 2015. Kita bisa cek kode HS data BPS untuk beras impor sejak 2016 sampe 2017, terlihat secara terang benderang jenis yang diimpor, berupa gabah untuk benih, beras pecah atau menir dan beras ketan yang merupakan beras khusus. Memang benar 2017 ada impor 305 ribu ton adalah beras menir untuk industri, menir tidak dikonsumsi,” bebernya.

Karena itu, Pri Menix yakin dua bukti di atas tentu sudah cukup menjelaskan bahwa produksi beras 2015 hingga 2018 mencukupi berlebih dan meningkat dari tahun ke tahun, tidak perlu impor. Indikator pasokan beras cukup juga dapat dilihat dari indikator stock beras di pasar. Data stock beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) selalu di atas 40 ribu ton, ini 2 hingga 3 kali lipat dibandingkan stock harian 3-4 tahun yang lalu. Artinya beras di pasaran cukup dan aman aman saja.

“Demikian pula indikator harga beras baik di tingkat petani dan di eceran tidak ada gejolak berarti. Data trend harga tidak ada yang mengkawatirkan,” tuturnya.

Selanjutnya stock beras Bulog per 10 Agustus 2018 sebesar 2,1 juta ton beras dan dipastikan hari ini bertambah lagi dari serap beras petani. Stock Bulog akan bertambah hingga September 2018 seiring dengan serap beras petani 500 ribu ton.

“Ini artinya bila akan ditambah impor 1 juta ton dengan dalih untuk cadangan pemerintah kan tidak wajar. Beras impor untuk apa dan mau disimpan dimana?. Saat ini pun gudang penuh. Kapasitas gudang efektif paling 2,6 juta ton beras,” pungkas Pri Menix.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER