Kamis, 18 April, 2024

Kadin Beri Solusi Pembangunan Infrastruktur Jabodetabek

MONITOR, Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia terlibat aktif mencarikan solusi terkait kondisi infrastruktur transportasi Jabodetabek melalui acara focus group discussion (FGD). Hasil FGD akan menjadi bahan masukan bagi pemerintah dan seluruh stakeholder di bidang infrastruktur dan transportasi nasional.

Acara yang digelar pada Rabu, 13 September 2017 di Menara Kadin ini bertujuan menghimpun seluruh masukan stakeholder  untuk mendukung pembangunan infrastruktur transportasi di Jabodetabek dapat lebih cepat dan tepat waktu, sehingga menjaga pertumbuhan ekonomi di Jabodetabek.

FGD yang bertema Kebijakan Infrastruktur Transportasi  Jabodetabek Kedepan juga bertujuan untuk menggodok keterlibatan swasta dalam membantu pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur di Jabodetabek.

Adapun, diskusi akan diisi oleh Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Erwin Aksa, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto, Kepala BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) Bambang Prihandono dan Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia Prof. Dr. Tech. Ir. Danang Parikesit M. Sc.,.

- Advertisement -

Pengisi diskusi lainnya yakni Ketua Umum Organda Adrianto Djokosoetono, ST. MBA, Ketua Umum YLKI Tulus Abadi, Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey dan CEO and Founder of GO-JEK Indonesia Nadiem Makarim.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto mengatakan belum diterbitkannya kebijakan angkutan umum untuk Jabodetabek merupakan permasalahan mendasar pada angkutan jalan.

Adapun penyebab belum terbitnya kebijakan tersebut adalah belum adanya undang-undang yang mengatur Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). Ketiadaan kebijakan Sistranas  menyebabkan kebijakan transportasi termasuk pembangunan infrastruktur dilakukan secara parsial.

Rancangan Undang-undang (RUU) Sistranas yang saat ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR dan tengah disusun naskah akademiknya tersebut diusulkan agar memuat, antara lain revitalisasi angkutan umum, khususnya transportasi jalan sekaligus arah pengembangan dan penataan angkutan umum perkotaan.

“Hal ini untuk menjamin keberlansungan usaha angkutan di jalan,” ujarnya.

Sementara itu, kondisi kereta api di Jabodetabek juga belum optimal. Panjang rel untuk KRL Jabodetabek yang ada dan light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT) yang tengah dibangun  belum mencukupi dan menjangkau pusat-pusat aktivitas di Jabodetabek. Begitu juga pada daya angkut setiap perjalanan KRL saat ini yang belum maksimal.

Persoalan lain pada moda transportasi terkait sulitnya pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur kereta api dan masih banyak perlintasan sebidang, serta belum adanya lahan parkir kendaraan yang memadai bagi penumpang yang akan beralih menggunakan kereta api. “Dan integrasi antar moda yang masih kurang.”

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Erwin Aksa  mengatakan peran transportasi pada awalnya lebih pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat untuk mengakomodasi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.

Seiring perkembangannya, sistem transportasi telah berperan sebagai fasilitas bagi sistem produksi dan investasi yang memberikan dampak positif bagi kondisi ekonomi. 

“Dari sisi makro ekonomi, transportasi memegang peranan strategis dalam meningkatkan PDB nasional, karena sifatnya sebagai derived demand, yang artinya apabila penyediaan transportasi meningkat akan memicu kenaikan angka PDB,” katanya.

Di Jabodetabek kerugiaan akibat bermasalahnya sektor transportasi seperti kemacetan telah menghilangkan potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Menurut Bank Dunia, masyarakat Jabodetabek umumnya menghabiskan waktu minimal 3,5 jam di kemacetan. Nilai ekonomi yang hilang dalam 1 tahun sama dengan Rp 39,9 triliun, karena waktu yang terbuang tersebut apabila digunakan untuk melakukan kegiatan produktif dalam 1 tahun bisa mendatangkan pendapatan bagi kota hingga US$ 3 miliar atau Rp 39,9 triliun.

Saat ini, kata Erwin, peran infrastruktur transportasi di Jabodetabek masih diwarnai dengan karakteristik transportasi yang dihadapkan pada kualitas pelayanan yang rendah dan cakupan pelayanan yang terbatas. Oleh karenanya, keterlibatan swasta sangat diperlukan dalam proses pembangunan hingga peningkatan kualitas layanan.

“Meski beberapa usaha Pemerintah untuk mengatasi kemacetan di Jabodetabek telah dilakukan, seperti penambahan bus Transjakarta dan kereta api rel listrik (KRL). Namun, keberadaan bus Transjakarta dan KRL dinilai belum cukup untuk mengurangi kemacetan karena jalur yang tersedia belum terkoneksi secara keseluruhan dengan sarana transportasi lainnya,” ujarnya.

Menurutnya, masalah di Jabodetabek selain kemacetan akibat terbatasnya sarana dan prasarana yang terintegrasi, kemacetan juga ditimbulkan oleh pembangunan infrastruktur transportasi publik yang seakan-akan menjadi buah simalakama bagi pemerintah dan rakyat.

“Jika tidak dijalankan, maka Jabodetabek tidak akan pernah memiliki fasilitas transportasi publik yang layak. Tapi memang dalam proses pembangunannya ternyata berpengaruh pada aktivitas perekonomian,” kata Erwin.

Dia mencontohkan, di tol Jakarta – Cikampek (Japek), Pemerintah melakukan berbagai upaya dalam menangani kemacetan melalui pembangunan Light Rapid Transit (LRT) dan Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung sehingga masyarakat dapat beralih menggunakan transportasi umum tersebut. Namun, pemerintah juga nampaknya melakukan kebijakan yang kontradiktif dengan membangun koridor tol Japek Elevated atau Jalan Tol Layang.

Akibatnya, pembangunan ketiga proyek besar tersebut dalam waktu bersamaan telah menimbulkan side effect negatif yang besar karena kemacetan semakin parah yakni total kerugian waktu dan BBM sebesar Rp 15,6 triliun dalam masa pembangunan selama 24 bulan tersebut.

“Tingginya jumlah penduduk di Jabodetabek sudah berpengaruh pada sumber daya kota yang terbatas. Ketidakseimbangan antara infrastruktur publik yang tersedia dengan jumlah penduduk menyebabkan kurangnya pelayanan kota termasuk di sektor transportasi. Akhirnya menyebabkan tingginya jumlah kendaraan pribadi yang tidak seimbang dengan ketersediaan ruas jalan, sehingga kemacetan lalu lintas pun semakin parah,” terang Erwin.

Kadin mencatat, ada beberapa hal yang sulit dicari jalan keluar dalam mengatasi permasalahan transportasi di Jabodetabek, antara lain, pertumbuhan kendaraan yang sangat tinggi, rendahnya disiplin pengguna jalan, buruknya perencanaan dan penataan kota, kondisi sarana kendaraan umum yang buruk, keamanan dan kenyamanan di jalanan.

Di sisi lain, diterbitkannya Perpres Nomor 103 Tahun 2015 tentang Badan Pengelola Transportasi Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) telah memberikan harapan untuk menyelesaikan permasalahan transportasi di Jabodetabek menuju pelayanan transportasi secara terintegrasi dengan menerapkan tata kelola organisasi yang baik.

“Ke depan, kami harapkan pemerintah dapat menjajaki peluang kerja sama dengan swasta dalam meningktkan kualitas pelayanan infrastruktur transportasi di Jabodetabek,” pungkas Erwin.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER