Kamis, 25 April, 2024

Isu Kependudukan Cukup Kompleks, BKKBN Dorong Analisis Dampak Kependudukan

MONITOR, Jakarta – Salah satu upaya dalam mengatasi dan mengendalikan dampak kependudukan adalah dengan melakukan analisis dampak kependudukan. Analisis ini bisa digunakan untuk menilai hubungan timbal balik dan mekanisme hubungan antara masalah kependudukan dan berbagai aspek pembangunan.

Mengingat sedemikian kompleksnya hubungan timbal balik antara isu-isu kependudukan dan aspek-aspek pembangunan, Deputi Latbang BKKBN M. Rizal Martua Damanik mengatakan keterbatasan sumber daya bagi pengelola Analisis Dampak Kependudukan (ADK) menjadi sangat penting.

Bahkan ia menyarankan, pengelola ADK perlu melaksanakan dan menyusun prioritas dalam mengintervensi dan memberikan rekomendasi strategis bagi dampak kependudukan, sehingga diperlukan kegiatan Pertemuan Koordinasi Forum Pengendalian Dampak Kependudukan melalui Inventarisasi Isu-isu strategis sebagai Input Kebijakan Pengendalian Dampak Kependudukan di tahun 2018.

"Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, kita harus mewujudkan kondisi penduduk dan sumberdaya yang kondusif," imbuh Rizal.

- Advertisement -

Salah satu masalah gizi yang ditemukan di Indonesia adalah Stunting, sekitar 8,8 juta anak Indonesia menderita Stunting (tubuh pendek) karena kurang gizi. Riskesdes 2013 mencatat angka kejadian stunting nasional mencapai 37,2%.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting perlu dilakukan yaitu pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Sejak saat perkembangan janin di dalam kandungan hingga usia anak 2 tahun menentukan kesehatan dan kecerdasan seseorang.

"Oleh karena itu, untuk mencetak anak Indonesia yang sehat dan cerdas langkah awal yang paling penting adalah pastikan pemenuhan gizi ibu hamil selama masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun. Jika tidak dipenuhi, maka anak akan mengalami malnutrisi," tegas Rizal.

Kondisi penduduk dan sumber daya yang kondusif  ditandai dengan keseimbangan kuantitas yang mencakup: (1) keseimbangan struktur umur yang ditunjukkan dengan jumlah penduduk usia produktif yang mampu menanggung penduduk usia non produktif (usia muda dan lansia). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 (SP 2010) Dependency ratio (DR) secara nasional sebesar 50.5 dan menurut proyeksi pada tahun 2020 sebesar 47.7 sedangkan angka ideal DR terendah berkisar 46.9 yang kemungkinan akan tercapai pada tahun 2030.

Keseimbangan persebaran penduduk, persebaran penduduk di Indonesia masih sangat timpang, di mana penduduk sekitar 57,5% berada di Pulau Jawa dengan luas wilayah hanya 7 % dari luas wilayah Indonesia, 21, 3 % berada di Sumatera, 5 % di Kalimantan, 7,3 % di Sulawesi, 5,5 % di Nusa Tenggara, 1,1% di Maluku, dan 1,5% di Papua, (2) kualitas SDM sering kita lihat dari tiga sektor yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang kesemuanya terangkum dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pada tahun 2015 IPM Indonesia berada diperingkat 113  dari 188 negara (Laporan UNDP 2016). Kualitas SDM ini juga berimplikasi disektor ketenagakerjaan, Kualitas Sumber Daya Pekerja Indonesia cenderung kurang baik karena didominasi dari lulusan SMA ke bawah sebesar 93,1%. Hal ini menjadikan mereka sebagian besar bekerja di sektor informal dan rentan kemiskinan (contoh: buruh tani, bangunan, industri kecil dan perdagangan).

"Kualitas SDM ini juga ditunjukkan dengan Persentase buruh/ karyawan/ pegawai menurut tingkat pendidikannya dimana SD ke bawah 23,4 %, SMP 17,5 %, SMA 38,5 % dan Perguruan Tinggi 20.5 % yang tentu saja berimplikasi pada rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia, kenaikan Upah Minimum selama tidak dibarengi dengan kenaikan produktivitas mereka, berbeda dengan China di mana kenaikan Upah Minimum diikuti dengan peningkatan produktivitasnya," tutup Rizal.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER